Sabtu 03 Feb 2018 11:36 WIB

Fenomena Gerhana, Manusia, dan Hidayah

Gerhana merupakan pesan Allah swt kepada manusia untuk mengingat beberapa hal.

Red: Elba Damhuri
Asma Nadia
Foto: Daan Yahya/Republika
Asma Nadia

REPUBLIKA.CO.ID Oleh: Asma Nadia

Rasulullah meneteskan air mata ketika memeluk jenazah Ibrahim, anak lelakinya yang dipanggil Allah saat usia masih belia, 18 bulan. Suasana duka menyelimuti dada kaum Muslimin. Sahabat pun tak kuasa membendung derasnya air mata, mendapati sang nabi berduka. Malam itu tiba-tiba suasana menjadi gelap. Lebih gelap dari biasanya. “Bahkan, bulan pun ikut bersedih mengiringi kepergian putra Rasulullah.”

Begitu desas-desus yang mulai tersebar di antara kamu Muslimin saat itu. Mendengar isu seperti itu, Rasulullah marah dan berkata, gerhana bukan karena ada yang mati atau ada yang hidup, tetapi tanda-tanda kuasa Allah. Kisah ini menunjukkan betapa gerhana sejak dulu kala sering disalahartikan manusia.

Di Indonesia sendiri ada yang memukul kentongan dan gong untuk mengusir roh jahat. Di Jawa ada budaya gejog lesung atau memukul tempat penumbuk padi dengan kayu penumbuk padi upaya mengusir Batara Kala atau raksasa jahat yang memakan bulan sehingga terjadi gerhana.

Kaum Aztek melarang ibu hamil melihat gerhana bulan karena berbahaya bagi janin. Mitos tersebut turut dipercaya di Meksiko, juga dikenal di Indonesia. Bahkan, penulis buku American Eclipse, David Baron, mengungkap Pemerintah Indonesia pada 1970 pernah menyarankan ibu hamil untuk berada di dalam ruangan selama gerhana bulan.

Di India ibu hamil tidak dibolehkan keluar rumah dan melihat gerhana, dilarang menggunakan benda tajam selama fenomena langka itu berlangsung. Sementara, masyarakat umum dilarang masak, makan, dan minum selama gerhana bulan. Masyarakat serentak menutup semua jendela. Mereka memastikan tidak ada sinar bulan yang masuk selama gerhana terjadi. Mandi adalah hal lain yang dianjurkan setelah proses gerhana bulan selesai.

Gerhana merupakan salah satu fenomena alam unik dan jarang terjadi. Terlebih, gerhana 31 Januari 2018 ini. Tiga fenomena kejadian alam langka muncul secara bersamaan, yaitu blue moon, supermoon, dan gerhana bulan. Peristiwa ini bisa dibilang sangat langka. Terakhir terjadi pada 31 Maret 1866 atau 152 tahun yang lalu.

Supermoon muncul ketika ketika purnama berada dalam jarak terdekatnya dengan bumi sehingga ukuran bulan menjadi 14 persen lebih besar dan 30 persen lebih terang daripada biasanya.

Sedangkan, blue moon adalah bulan purnama yang terjadi dua kali dalam satu bulan kalender. Sedangkan gerhana bulan terjadi saat bulan purnama, bumi menutupi bulan, sehingga bulan terhalang oleh bumi. Saat bulan berada di titik terdekat (perigee) dengan bumi bertepatan dengan bulan purnama terjadilah supermoon.

Fenomena alam ini merupakan salah satu ayat-ayat Allah yang mampu mengingatkan manusia tentang berbagai hal.

Pertama, bisa jadi Allah ingin memberi pesan pada manusia bahwa selalu ada pengecualian atas sesuatu. Setiap manusia harus percaya bahwa diri mereka spesial dan unik. Jangan terjebak pada sesuatu yang monoton dan statis, serta harus dinamis. Manusia yang percaya dirinya unik, tidak akan mudah menyerah, dan pasrah hanya karena mayoritas manusia lain menyerah.

Kedua, sikap menghadapi fenomena alam ini juga menjadi alat ukur kualitas berpikir manusia. Ada yang menebak-nebak dan menciptakan cerita yang dibuat-buat, entah raksasa, monster, dan berbagai mitos lainnya. Kualitas manusia yang mudah memercayai mitos juga menjadi catatan.

Yang menjadi masalah adalah jika mereka yang terjebak mitos memiliki kekuasaan dan berpengaruh luas. Bisa-bisa kebijakan yang diambil dalam menghadapi gerhana tidak sesuai ilmu pengetahuan dan menghabiskan biaya secara sia-sia.

Ketiga, tradisi yang berkembang saat ini menunjukkan dakwah yang belum tuntas di bumi nusantara. Di beberapa daerah, masih ada rakyat yang menjalankan tradisi mengusir roh jahat dengan gaduh sambil bershalawatan, seolah mencampur tradisi yang menyimpang dari Islam sekaligus memberi sentuhan Islami. Tentu saja, ini menjadi catatan bagi para dai.

Keempat, gerhana bulan sendiri seperti simbol diri kita. Jika cahaya matahari dibaratkan cahaya hidayah, cahaya bulan adalah jalan lain untuk mendapat hidayah. Dan, gerhana adalah keadaan saat kita mengambil posisi menjauhi hidayah dan menutup cahaya lain yang mendekat.

Semoga kita menjadi hamba-hamba-Nya yang hatinya selalu terbuka siap menerima petunjuk dan hidayah Allah. Terjaga dari bersikap sebaliknya, yaitu membiarkan hati dalam gerhana dengan menolak hidayah dan perantara lain yang menjadi media sampainya cahaya Ilahi.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement