Kamis 22 Feb 2018 02:17 WIB

Begini Tahapan Seseorang Bisa Dinyatakan Alami Gangguan Jiwa

Dalam kasus penyerangan ulama oleh 'orang gila' membutuhkan proses pendampingan.

Rep: Hartifiany Praisra/ Red: Karta Raharja Ucu
Sejumlah anggota Satpol PP Pemprov Banten mengamankan orang gila yang berkeliaran di Alun-alun Kota Serang, di Serang, Banten, Selasa (20/2).
Foto: Antara/Asep Fathulrahman
Sejumlah anggota Satpol PP Pemprov Banten mengamankan orang gila yang berkeliaran di Alun-alun Kota Serang, di Serang, Banten, Selasa (20/2).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Penyerangan ulama oleh 'orang gila' di sejumlah tempat menimbulkan keresahan di masyarakat. Di beberapa kasus, polisi pun langsung menyatakan pelaku penyerangan mengalami gangguan kejiwaan. Padahal, menurut praktisi bidang kesehatan mental dari Universitas Muhammadiyah Malang, Hudaniah, secara psikologis, seseorang baru dapat dikatakan gila jika telah melalui tahap assesment dan wawancara. Tidak hanya itu, observasi atau psikotes akan dilakukan jika diperlukan.

Hudaniah menuturkan, dalam kasus penyerangan ulama yang diklaim dilakukan 'orang gila' membutuhkan proses pendampingan. "Kalau psikolog, assesment untuk mengetahui diagnosanya untuk mengetahui kondisi kejiwaannya. Hasilnya diintegrasikan oleh hukum jika telah terindikasi kejiwaannya," kata dia saat berbincang dengan Republika.co.id, Rabu (21/2).

Setelah psikolog mengumpulkan informasi mengenai kemampuan berpikir kognitif atau tidak, kata dia, maka data tersebut akan ditentukan jika seseorang terindikasi gangguan jiwa atau tidak. "Psikolog mengumpulkan informasi tentang kemampuan berpikir kognitif apa konsisten atau tidak, terstruktur atau realistis, terdapat gangguan emosi, apakah ekspresi emosinya tepat atau tidak, jika sedih apakah memang sedih atau tertawa," ucap dia.

Dia tidak dapat menyimpulkan apakah media pemberitaan mempengaruhi seseorang yang mengalami penyakit mental untuk turut melakukan penyerangan terhadap tokoh utama. "Karena harus mengetahui lebih lanjut, misal pelaku berbeda-beda orang, karakteristik yang diserang misal tokoh agama, kita tidak berani menyimpulkan itu kebetulan atau tiddak karena harus ada sinkronisasi data dari masing-masing pelaku," ujar Hudaniah.

Dari data tersebut, kata dia, kemudian diketahui latar belakang pelaku penyerangan. Baik gangguan jiwa apa yang orang tersebut perlu diperiksa seperti cek secara kognitif pola pikir, maupun mengecek konsistensi emosinya.

Namun, ia menyebut  terdapat beragam analisis penyerangan ulama yang terbilang sering dan berdekatan. "Gangguan jiwa itu salah satunya dipengaruhi oleh budaya dimana orang itu tinggal, kebiasaan dia yang penuh tekanan, sehingga bisa mempengaruhi orang rentan gangguan jiwa," ucap dia.

"Memang," kata dia melanjutkan, "ada gangguan jiwa yang sifatnya umum, misal karena faktor ekonomi, gangguan penyesuaian stress politik. Ada pula gangguna jiwa yang sifarnya spesifik dan ada juga yang general."

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement