Ahad 04 Mar 2018 10:40 WIB

Sistem Pemilu 2019 Tekan Potensi Konflik

Pemilu 2019 menggunakan sistem peringkat bagi caleg agar suara habis di dapil.

Red: Ratna Puspita
Pemilu (ilustrasi).
Pemilu (ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID, SEMARANG — Ketua Program Magister Ilmu Politik FISIP Universitas Diponegoro Semarang Teguh Yuwono mengatakan metode konversi suara sainte lague yang digunakan pada Pemilihan Umum 2019 menjadikan potensi konfliknya rendah. Alumnus Flinders University Australia itu berpendapat sistem pemilihan umum (pemilu) sebelumnya seperti pada Pemilu 2004 justru memiliki tingkat konflik tinggi.

Ia mengatakan sistem pemilihan umum mendatang menerapkan metode yang berbeda dengan Pemilu 2014. Akan tetapi, sistemnya sama-sama habis dibagi di dapil, atau suara habis di dapil.

"Begitu di dapil penghitungan selesai, kursinya selesai. Mana yang lebih bagus, tergantung dengan sistem yang dipilih. Sebetulnya bukan soal bagus atau tidak, melainkan setiap sistem punya konsekuensi sendiri-sendiri," kata dia di Semarang, Ahad (4/3).

Dia menerangkan sistem pada Pemilu 2019 adalah suara habis di dapil, tetapi metodenya menggunakan sainte lague atau sistem peringkat sesuai Pasal 420 UU No. 7/2017 tentang Pemilihan Umum. "Kursinya ada tujuh, misalnya, peringkat satu sampai dengan tujuh yang dapat kursi. Peringkat yang lain yang tidak dapat kursi," katanya.

Sementara sistem pada Pemilu 2014, suaranya tidak berdasarkan peringkat, tetapi berdasarkan bilangan pembagi pemilihan (BPP). Misalnya, angka BPP di sebuah daerah pemilihan (dapil) 1.000 suara. 

Artinya, sebuah partai mendapat satu kursi kalau meraih 1.000 suara. Calon legislatif juga akan lolos kalau berhasil meraih 1.000 suara. 

"Mana yang baik atau mana yang buruk. Semuanya punya kelemahan, tergantung bagaimana sistem itu didesain untuk mengantisipasi supaya suara hilang makin kecil. Prinsipnya suara kecil bisa dihitung, tidak dibuang begitu saja,” kata dia. 

Kalau secara akademik, menurut dia, sistem pada Pemilu 2014 dan 2019 dengan sistem konversi suara habis di dapil lebih bagus dibandingkan sistem dengan stembus-accord atau suara sisa. Dia menceritakan sistem pada Pemilu 2004 menerapkan stembus-accord (penggabungan sisa suara) sehingga memiliki tingkat konflik tinggi. 

Teguh menjelaskan potensi konflik suara sisa di daerah pemilihan (dapil) lebih tinggi meskipun pasal 107 Undang-undang Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD ada ketentuan yang menyebutkan partai politik peserta pemilu tidak dibenarkan mengadakan perjanjian penggabungan sisa suara. 

"Jadi, kalau ditanyakan mana yang lebih bagus untuk pembangunan demokrasi di Tanah Air, ya, sistem sekarang ini, yang habis di dapil," katanya.

Ia lantas memaparkan kelebihan sistem pada Pemilu 2019, yakni potensi konfliknya rendah, realitas dukungan di dapil, dan penghitungannya tidak rumit karena tidak terdapat sisa suara di dapil. Dengan memperoleh dukungan di dapil, lanjut dia, calon anggota legislatif bersangkutan memiliki akar keterwakilan di tengah rakyat.

Hal itu berbeda dengan stembus-accord yang tingkat kerumitannya tinggi, yakni ada suara sisa, harus ditarik ke dapil atasnya. "Suaranya nanti habis di provinsi. Itu biasanya potensi konflik lebih tinggi, kerumitannya lebih tinggi, dan tingkat keterwakilannya rendah," ucap Teguh.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement