Jumat 16 Mar 2018 02:46 WIB

Akankah Saudi Buat Bom Nuklir?

Jika Iran menjalankan program nuklir, Saudi tidak akan menunggu hingga satu bulan.

Rep: Zahrotul Oktaviani/ Red: Andi Nur Aminah
Sebuah foto yang mengilustrasikan peluncuran misil militer Iran di kota Bushehr, pada akhir Desember 2016. Pemerintah AS baru saja menjatuhkan sanksi kepada Iran atas dugaan kepemilikan misil yang bisa membawa senjata nuklir.
Foto: Amir Kholousi, ISNA via AP
Sebuah foto yang mengilustrasikan peluncuran misil militer Iran di kota Bushehr, pada akhir Desember 2016. Pemerintah AS baru saja menjatuhkan sanksi kepada Iran atas dugaan kepemilikan misil yang bisa membawa senjata nuklir.

REPUBLIKA.CO.ID, RIYADH -- Pemerintah Arab Saudi telah memperingatkan akan mengembangkan senjata nuklirnya jika saingan regionalnya, Iran, memiliki senjata tersebut. Putra Mahkota Mohammed bin Salman secara terpisah mengatakan negara tersebut sebenarnya tidak ingin memiliki senjata tersebut.

"Meskipun kami tidak berniat memiliki alat tersebut, tetapi jika Iran mengembangkan bom nuklir maka kami akan mengikuti sesegera mungkin," ujarnya dilansir BBC, Jumat (16/3).

Iran sendiri membatasi program nuklirnya dalam sebuah kesepakatan dengan beberapa kekuatan dunia tahun 2015. Namun terbaru, Presiden AS Donald Trump mengancam akan keluar dari kesepakatan tersebut.

Arab Saudi dan Iran memang telah lama menjadi rival di Timur Tengah. Masing-masing didominasi oleh kepercayaan Islam yang berbeda, Sunni untuk Arab Saudi dan Syiah untuk Iran. Secara historis kedua negara ini juga mendukung kekuatan yang berbeda dalam konflik regional. Ketegangan juga meningkat dalam beberapa tahun terakhir selama perang terjadi di Suriah dan Yaman.

Pangeran Mohammed bin Salman yang merupakan pewaris takhta juga Menteri Pertahanan Saudi menjelaskan alasan negara tersebut memanggil pemimpin tertinggi Iran Ayatollah Ali Khamenei yang dijuluki Hitler baru di Timur Tengah. "Dia (Ayatollah Ali) ingin membuat proyek sendiri di Timur Tengah, sangat mirip dengan Hitler saat itu. Banyak negara di dunia dan di Eropa tidak menyadari betapa bahayanya Hitler sampai apa yang terjadi. Saya tidak ingin hal serupa terjadi di Timur Tengah," ujarnya.

Arab Saudi yang merupakan sekutu penting AS telah menandatangani perjanjian Traktat Non-Proliferasi Senjata Nuklir pada 1988. Meskipun hingga kini tidak ada laporan negara tersebut mencoba mengembangkan senjata nuklir di bawah kendalinya, namun ada laporan menyatakan Arab Saudi telah menginvestasikan proyek senjata nuklir kepada Pakistan.

Amos Yadlin seorang mantan kepala intelijen militer Israel dalam sebuah konferensi di Swedia menyatakan jika Iran menjalankan program nuklir, maka Saudi tidak akan menunggu hingga satu bulan. "Mereka (Saudi) telah memiliki alat tersebut. Mereka tinggal pergi ke Pakistan sembari membawa senjata itu," ujarnya.

Iran sendiri juga menandatangi perjanjian non-proliferasi dan bersikeras bahwa program nuklirnya untuk tujuan damai. Namun pada 2015 telah terjadi kesepakatan internasional yang menyatakan kekhawatirannya pada senjata nuklir Iran. Kesepakatan itu berisi pembatasan pengayaan uranium, produksi plutonium, dan memungkinkan dilakukannya peningkatan inspeksi.

Kesepakatan ini dianggap sebagai kemenangan besar oleh pemerintahan mantan Presiden AS Barack Obama. Namun Donald Trump menganggap kesepakatan tersebut sebagai kesepakatan terburuk yang pernah ada.

Israel sendiri dianggap sebagai satu-satunya negara bersenjata nuklir di Timur Tengah. Namun hingga kini negara tersebut menolak untuk mengkonfirmasi ataupun membenarkan asumsi tersebut.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement