Ahad 08 Jul 2018 11:39 WIB

KPU Pastikan Kolom Kosong Menang di Makassar

Situasi Makassar masih dalam kondisi kondusif.

Rep: Dian Erika Nugraheny/ Red: Teguh Firmansyah
Sejumlah komisioner KPU Makassar menandatangani hasil Rapat Pleno Rekapitulasi pemilihan Wali Kota dan Wakil Wali Kota Makassar di Makassar, Sulawesi Selatan, Jumat (6/7) malam.
Foto: Antara/Sahrul Manda Tikupadang
Sejumlah komisioner KPU Makassar menandatangani hasil Rapat Pleno Rekapitulasi pemilihan Wali Kota dan Wakil Wali Kota Makassar di Makassar, Sulawesi Selatan, Jumat (6/7) malam.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA-- Ketua KPU Provinsi Sulawesi Selatan (Sulsel), Misna M Hattas, mengatakan, kolom kosong resmi menang di Pilkada Kota Makassar 2018. Perolehan suara kolom kosong lebih besar daripada pasangan calon (Paslon) tunggal Munafri Arifuddin-Andi Rachmatika Dewi.

"Rekapitulasi hasil penghitungan suara Pilkada Kota Makassar sudah selesai digelar Sabtu (7/7). Dari hasil rekapitulasi itu, dipastikan kolom kosong unggul di Pilkada Kota Makassar," ujar Misna ketika dihubungi Republika.co.id, Ahad (8/7).

Dia melanjutkan, perolehan suara untuk kolom kosong lebih banyak jika dibandingkan dengan perolehan suara paslon Munafri Arifuddin-Andi Rachmatika Dewi atau yang biasa disebut dengan pasangan Appi-Ciccu.  Kolom kosong tercatat memperoleh lebih dari 50 persen suara sah. Sementara itu, Appi-Ciccu memperoleh 47 persen suara sah.

Meski kolom kosong memenangkan Pilkada Kota Makassar, Misna menyatakan, kondisi masyarakat saat ini tetap kondusif. Ia mengklaim tidak ada euforia berlebihan atas kemenangan itu.  "Semua bisa selesai tepat waktu. Namun, yang perlu diingat tentu Pilkada Kota Makassar akan diulang pada 2020 mendatang," tambah Misna.

Baca juga, Di Makassar, Kolom Kosong Unggul 53,45 Persen.

Direktur Eksekutif Center for Strategic and International Studies (CSIS) Philip J. Vermonte melihat, fenomena kemenangan kolom kosong atas pasangan calon (paslon) tunggal di Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Kota Makassar memiliki sisi positif. Hasil ini menunjukkan, pemilih semakin dewasa dengan tidak menerima begitu saja paslon yang diajukan partai.

Keadaan terjadinya calon tunggal pun bukan tanpa sebab. Philip menjelaskan, kondisi ini terhadi karena ada persoalan politik yang membuat calon lain tidak dapat maju.

Termasuk, di antaranya karena partai politik yang tidak dapat menangkan aspirasi masyarakat. "Partai sudah harus sadar, ini era baru di mana aspirasi masyarakat lebih penting dari suara partai," tutur Philip dalam diskusi media Evaluasi Pilkada Serentak 2018 di Hotel Atlet Century, Jakarta, Senin (2/7).

Philip tidak menampik bahwa penggunaan politik  identitas dan suku, agama, ras, dan antar-golongan (SARA) masih lumrah terjadi pada Pilkada Serentak 2018. Sebab, masyarakat di tingkat daerah merasa kesulitan dalam menilai secara rasional terkait rekam jejak paslon. Tidak hanya menilai tiap sosok paslon, mereka juga harus memperhatikan kekurangan dan kelebihan partai pengusung maupun koalisinya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement