Kamis 12 Jul 2018 17:35 WIB

Pemerintah Diminta tak Perlu Khawatir Harga Telur Naik

Harga telur tertinggi ada di Provinsi Maluku Utara

Rep: Halimatus Sa'diyah/ Red: Teguh Firmansyah
Pedagang  di Pasar Oro-oro Dowo mengeluhkan kenaikan harga telur ayam, Kamis (12/7).
Foto: Republika/Wilda Fizriyani
Pedagang di Pasar Oro-oro Dowo mengeluhkan kenaikan harga telur ayam, Kamis (12/7).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Harga telur ayam ras masih terus meroket. Berdasarkan data yang dihimpun Pusat Informasi Harga Pangan Strategis (PIHPS) pada Kamis (12/7), harga rata-rata nasional untuk telur ayam ras Rp 27.100 per kilogram. Harga itu naik sebesar Rp 200 dibanding hari sebelumnya.

Harga telur tertinggi ada di Provinsi Maluku Utara. Di Provinsi tersebut harga telur ayam telah menyentuh angka Rp 37.850 per kilogram. Sementara, harga telur terendah terpantau berada di Provinsi Sumatra Utara, yakni Rp 20.900 per kilogram.

Adapun di Ibu Kota DKI Jakarta, harga rata-rata telur ayam ras berada di level Rp 28.650 per kilogram. Berdasarkan peraturan menteri perdagangan (Permendag) Nomor 58 Tahun 2017, harga acuan yang ditetapkan pemerintah untuk telur ayam ras yakni Rp 22 ribu per kilogram untuk tingkat konsumen.

Pengamat ekonomi dari Institut Pertanian Bogor (IPB) Dwi Andreas menyebut lonjakan harga telur yang terjadi saat ini dipicu oleh siklus produksi tahunan telur ayam. Sehingga, ia mengatakan, pemerintah seharusnya tidak perlu khawatir.

"Ini terkait siklus produksi telur secara nasional," ujarnya, saat dihubungi Republika, Rabu (11/7).

Baca juga,  Kenaikan Harga Telur dan Ayam Komplikasi Beragam Faktor.

Andreas menjelaskan, pada awal tahun, harga telur biasanya meninggi karena produksinya yang berkurang. Memasuki bulan April, produksi telur umumnya mulai meningkat sehingga harga turun secara bertahap. Lalu, di bulan Juli produksi telur kembali berkurang. Andreas memperkirakan, produksi telur ayam ras baru akan kembali normal paling cepat pada akhir Agustus mendatang.

Lebih lanjut, ia mengatakan, menurunnya produksi telur juga bisa terjadi karena peternak melakukan peremajaan terhadap induk petelur. Kondisi ini biasanya terjadi jelang Idul Fitri. Pada saat itu, banyak peternak menjual ayam petelur meraka yang sudah tidak produktif untuk dijadikan sebagai ayam pedaging.

“Populasi menurun, otomatis produksi juga menurun. Wajar saja kalau harga meningkat,” jelasnya.

Kepala Disnak Kabupaten Sukabumi, Iwan Karmawan, menilai harga telur ayam yang mengalami lonjakan di pasaran disebabkan sejumlah faktor. Di antaranya karena kelangkaan DOC (anak ayam umur sehari-red), naiknya harga pakan, hingga kenaikan harga BBM. "Kami telah melakukan analisa penyebab kenaikan harga telur ayam dan daging ayam," ujar Kepala Disnak Kabupaten Sukabumi, Iwan Karmawan kepada wartawan, Kamis (12/7).

Penyebab pertama yakni terjadinya kelangkaan DOC yang berdampak pada kenaikan harga. Saat ini harga DOC meningkat dari Rp 5.000 per ekor menjadi Rp 7.000 per ekor.

Kondisi ini, jelas Iwan, menyebabkan kapasitas kandang terpasang peternak ayam broiler dan layer mayoritas kosong. Selain itu unggas banyak yang dijual pada saat puasa dan lebaran karena harga tinggi akibat permintaan yang naik.

Kenaikan harga telur dan daging, lanjut Iwan, dikarenakan naiknya harga pakan Rp 500 per kilogram. Kenaikan harga pakan karena bahan baku impor dan terjadi pelemahan nilai tukar rupiah. Peningkatan harga juga akibat harga BBM naik yang berdampak pada naiknya biaya transportasi. Di sisi lain ungkap Iwan, produktivitas ayam mengalami penurunan. Sebabnya kualitas pakan buruk, cuaca ekstrem, dan kejadian kasus penyakit.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement