Jumat 13 Jul 2018 14:50 WIB

Disnak Jabar: Kenaikan Harga Telur dan Ayam Sulit Dicegah

Pelemahan rupiah turut mempengaruhi peningkatan harga telur dan ayam.

Rep: Arie Lukihardianti/ Red: Teguh Firmansyah
Peternak memanen telur ayam yang siap dijual di kawasan Cibinong, Bogor, Jawa Barat, Kamis (12/7).  Harga jual telur di tingkat konsumen dan sejumlah pasar tradisional naik, dari Rp23.000 per kilogram  menjadi Rp30. 000 karena naiknya harga pakan ternak serta minimnya bibit ayam petelur.
Foto: Yulius Satria Wijaya/Antara
Peternak memanen telur ayam yang siap dijual di kawasan Cibinong, Bogor, Jawa Barat, Kamis (12/7). Harga jual telur di tingkat konsumen dan sejumlah pasar tradisional naik, dari Rp23.000 per kilogram menjadi Rp30. 000 karena naiknya harga pakan ternak serta minimnya bibit ayam petelur.

REPUBLIKA.CO.ID, BANDUNG -- Kenaikan harga daging ayam dan telur di Jawa Barat terjadi karena biaya produksi yang dikeluarkan peternak melonjak signifikan. Menurut Kepala Dinas Ketahanan Pangan dan Peternakan Dewi Sartika, mahalnya ayam dan telur salah satu penyebabnya akibat penguatan nilai dollar AS yang mendorong harga pakan.

"Jabar sebenarnya jadi sentra ayam pedaging karena berkontribusi hingga 50 persen kebutuhan nasional. Tapi, kenaikan harga daging ayam sulit dicegah," ujar Dewi kepada wartawan, Jumat (13/7).

Dewi mengatakan, harga ayam di tingkat peternak meningkat dari Rp 21 ribu per kilogram bobot hidup menjadi sekitar Rp24 ribu hingga Rp25 ribu. Saat masuk broker di Bandung, berkisar Rp28 ribu hingga Rp 29 ribu. "Setelah masuk broker, kemudian dipotong-potong sehingga harga jual di pasaran Rp40 ribu per kilogram," katanya.

Menurut Dewi, kenaikan harga ayam dan telur berkaitan dengan biaya produksi yang ikut melonjak, meliputi DOC (Day Old Chicken/Anak Ayam) dan pakan. Selain itu, penguatan nilai dollar juga ikut mempengaruhi harga pakan yang mengalami kenaikan sekitar Rp 100 per kilogram. Padahal, jagung yang sebagian besar dipasok dari impor sangat dibutuhkan untuk 30-50 persen bahan baku pakan.

Faktor penyebab lainnya, kata dia, ekstremnya suhu dingin di Jabar ikut mempengaruhi karena peternak harus berupaya menjaga kesehatan ayam dengan membangun dinding penahan dan penggunaan pemanas ruangan.

Baca juga, Harga Telur di Purwakarta Tembus Rp 30 Ribu per Kilogram.

Hal lainnya yang ikut mempengaruhi, kata dia, adalah larangan penggunaan Antibiotik Growth Promotor (AGP) sebagai imbuhan pakan ternak sejak 1 Januari 2018 lalu. Hal ini dikarenakan adanya efek yang berpotensi membahayakan kesehatan, dengan adanya residu antibiotik dalam tubuh manusia.

Penggunaannya bisa menyebabkan timbulnya kekebalan tubuh terhadap obat/antibiotik tertentu. Larangan penggunaan AGP tersebut membuat bobot ayam banyak yang mengalami penurunan.  "Karena itu saat ini pihak perguruan tinggi sedang melakukan penelitian untuk mencari alternatif pengganti, dengan enzim atau herbal," katanya.

Sedangkan harga telur, kata Dewi, Jabar hanya menjadi daerah konsumen. Sejauh ini kebutuhannya masih dipasok dari Blitar sebagai sentra telur nasional dengan harga Rp 25 ribu per kilogram di tingkat produsen. "Harga telur sudah mahal dari sananya. Saat masuk ke kita sudah Rp 28 ribu. Walaupun ada penghasil telur kita daerah Ciamis tapi itu sedikit," katanya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement