Selasa 21 Aug 2018 15:53 WIB

Biarkan Anak Menikmati Masa Kecilnya

Mendengarkan anak dapat membantu mengembangkan perasaan bahwa mereka diakui.

Red: Karta Raharja Ucu
Ilustrasi Anak Bermain
Foto: pixabay
Ilustrasi Anak Bermain

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Firdanianty Pramono*

Suatu hari, saya berkesempatan mengajak keponakan saya, Thania (4 tahun), berjalan-jalan di lapangan Sempur (sekarang bernama Taman Ekspresi), Bogor. Thania, yang sejak lahir tinggal di Jakarta, sangat gembira ketika saya membiarkannya berlarian di ruang terbuka.

Begitu sampai, bocah kecil ini langsung lari mengelilingi lapangan sambil berteriak kegirangan. "Mama, ayo kejar Thania!" Saya dan adik saya (Mama Thania) mengejarnya sambil terengah-engah. "Ini anak baru berumur empat tahun, mengapa larinya cepat sekali?" batin saya keheranan.

Kehebohan Thania tidak hanya terjadi di lapangan. Ketika saya mengajaknya ke tempat bermain yang berada di pojok Taman Ekspresi, lagi-lagi Thania menunjukkan kegirangannya. Awalnya dia mengamati sekelompok anak SMP yang baru saja selesai berolahraga dan sekarang sedang bermain perosotan di rumput.

Thania memerhatikan anak-anak itu dan dengan sabar menunggu giliran. Ketika anak-anak itu pergi, dengan sigap Thania mendaki gundukan tanah yang dilapisi rumput sintetis itu dan mulai beraksi mengikuti gaya merosot anak-anak SMP yang baru saja dilihatnya. Dia mengulanginya berkali-kali sampai berpeluh keringat, lalu berpindah ke permainan lain. Begitu seterusnya.

Melihat keceriaan keponakan saya hari itu, saya merasa anak-anak lebih tahu cara untuk bersenang-senang. Bagi anak-anak yang aktif bergerak seperti Thania, berlarian di lapangan memberikan kesenangan sekaligus ruang gerak untuk memperkuat kemampuan motoriknya.

Anak lain mungkin berbeda. Waktu seusia Thania, saya sering mengajak anak saya "piknik" ke danau yang berada tidak jauh dari rumah kami. Setiap berangkat, kami membawa bekal satu buah apel, makanan ringan, air minum, buku gambar, dan pensil crayon. Sampai di danau, anak saya akan singgah sebentar untuk bermain perosotan. Setelah itu dia akan mengajak saya mencari tempat teduh, lalu mengeluarkan buku gambar dan pensil crayonnya. Kalau sudah begitu, dia akan anteng menggambar sampai selesai.

Bila kami mengajaknya jalan-jalan ke tempat yang ramai, hobinya mengamati orang. Dia akan banyak bertanya ke saya atau ayahnya, “Bapak itu sedang ngapain? Anak itu mengapa menangis? Ibu itu, kok, marahin anaknya?” Kami harus dapat memberikan jawaban yang memuaskan, sebab bila tidak, ia akan terus mencecar dengan pertanyaan-pertanyaan baru.

Di usia balita, anak-anak selalu menunjukkan keceriaan. Biasanya, keceriaan itu memudar ketika anak-anak memasuki pendidikan sekolah dasar (SD), terutama jika model pembelajarannya masih tergolong konservatif. Apa yang terjadi di ruang-ruang kelas SD sehingga anak-anak yang sebelumnya periang, pemberani, kritis, dan kreatif, kehilangan semangatnya?

Bagaimana tidak, setiap hari anak-anak dijejali pelajaran dan saat pulang mereka masih dibebani dengan setumpuk pekerjaan rumah (PR). Di beberapa sekolah yang menerapkan model pembelajaran alternatif, misalnya di sekolah alam, anak-anak bisa dikatakan lebih beruntung. Mereka masih memiliki kesempatan untuk menikmati masa kecilnya melalui berbagai aktivitas dan pengalaman belajar yang menyenangkan.

Kita sering lupa, anak-anak adalah pembelajar sejati. Orang tua tak perlu berambisi menjejali segala hal kepada anak. Sebagai makhluk hidup, manusia terbukti mampu bertahan hingga saat ini.

“Kalau manusia dilahirkan dengan kemampuan terbatas dalam memberikan respons pada lingkungannya, pasti saat ini umat manusia telah berubah menjadi semacam fosil kuno,” tulis Thomas Armstrong dalam bukunya Awakening Your Child’s Natural Genius.

Kemampuan untuk beradaptasi, berubah, dan belajar, menurut Armstrong, merupakan bagian dari cetak biru genetik manusia. “Ketika lahir, manusia dikaruniai otak dengan porsi besar yang masih terbebas dari berbagai rencana atau perilaku, kemudian anak bertumbuh sebagai pembelajar alami, yang mampu menanggapi perubahan tuntutan dan kehidupan masa kini dengan fleksibilitas yang sangat tinggi,” katanya.

Sejauh ini, apa yang telah kita ajarkan pada anak-anak kita? Di sekolah, guru-guru mengajari para siswa penjumlahan, tetapi sudahkah guru-guru menjelaskan mengapa anak-anak perlu mempelajari itu? Apakah anak-anak diterangkan gunanya penjumlahan dalam kehidupan sehari-hari? Anak-anak diajari bahwa dua ditambah dua adalah empat. Dalam kehidupan nyata, empat tidak hanya berasal dari dua ditambah dua, tetapi bisa diperoleh dari satu ditambah tiga, tiga ditambah satu, empat ditambah nol, atau nol ditambah empat.

Setiap hari guru-guru di sekolah dan orang tua mencekoki anak-anak dengan berbagai pengetahuan akademik. Merasa tak cukup belajar di sekolah, sebagian anak harus mengikuti tambahan pelajaran di luar sekolah, entah mengambil les privat atau ikut bimbingan belajar. Apa yang sebenarnya ingin dikejar? Begitu hebatkah arti prestasi akademik di benak orang dewasa sehingga lupa mengajarkan anak-anak untuk mengenali dirinya sendiri dan merasa bahagia?

Elizabeth Hartley-Brewer (2009), pakar perkembangan anak, berpendapat, anak-anak – sebagaimana orang dewasa – bisa bertindak dan melakukan semua hal dengan sangat baik ketika mereka merasa bahagia. Hal itu terjadi manakala ada yang mengatakan kepadanya bahwa apa yang telah mereka kerjakan itu sangat mengagumkan dan membuat orang lain senang bersamanya. Brewer memastikan, ketika seorang anak yakin orang tua mereka mencintai dan menghargainya, anak-anak dapat mengembangkan dirinya menjadi orang yang memiliki rasa percaya diri, mandiri, dan bahagia.

Kebanyakan orang tua merasa dirinya yang paling tahu, sehingga sulit untuk mendengarkan pendapat anak. Padahal, sikap mau mendengarkan ini memiliki arti yang sangat penting bagi anak. Brewer mengungkapkan, mendengarkan anak dapat membantu mengembangkan perasaan bahwa mereka diakui dan dipahami. Di saat yang sama, anak-anak juga belajar menghargai pendapat orang lain. Sejatinya anak-anak belajar mengembangkan perilakunya dari teladan orang tuanya sendiri.

Saya ingin menutup tulisan ini dengan mengutip kata-kata Pablo Casals (1867-1973), seorang komponis dan pemain Celo, “Kita harus katakan kepada setiap anak, apakah kamu tahu seperti apa dirimu? Kamu adalah keajaiban! Kamu adalah seorang yang unik. Di dunia ini tidak ada anak yang benar-benar menyerupaimu. Dalam jutaan tahun yang telah berlalu, tak seorang anak pun yang seperti kamu. Kamu bisa menjadi seorang Shakespeare, Michelangelo, atau Beethoven. Kamu memiliki kapasitas untuk menjadi apa pun. Ya, kamu adalah keajaiban.”

*) Pengajar di Sekolah Ibu, Bogor

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement