Kamis 06 Sep 2018 08:28 WIB

Para Porter dan Penyaji Makanan Tamu Allah

Sejumlah tantangan harus dihadapi para pelayan tamu Allah

Red: Joko Sadewo
Andi Nur Aminah
Foto: Republika/Daan Yahya
Andi Nur Aminah

REPUBLIKA.CO.ID, oleh: Andi Nur Aminah*

Seorang insinyur Mesir, menjadi pekerja kasar di Bandara Internasional Jeddah. Pekerjaannya, mengangkat koper-koper jamaah haji, baik di saat kedatangan hingga kepulangan. Kawan saya yang sedang berada di Tanah Suci bercerita, insinyur itu ditemuinya di bandara King Abdulazis, Jeddah.

Dia sebetulnya punya cukup uang untuk membayar ongkos ibadah haji jika ingin bergabung dengan jamaah haji Mesir lainnya. Namun hal itu tidak dilakukannya. Tampaknya, dia punya alasan lain mengapa memilih hadir di Tanah Haram namun tidak dalam rombongan jamaah haji.

“Kalau saya berangkat haji biasa, saya takut tidak bisa bantu-bantu jamaah lain,” kata dia. Deg. Saat membaca kalimat ini, saya tiba-tiba tertegun. Ada ya orang seperti ini.

Dia mengaku penghasilannya bekerja menjadi porter di Bandara Jeddah sangat kecil dibanding bekerja di Mesir. Namun niatnya yang sangat besar ingin berhaji sembari memberikan pelayanan terbaiknya untuk tamu-tamu Allah, membuatnya tak begitu peduli dengan nilai lembaran riyal yang diterima.

Maqam sang insiyur itu boleh dikata jauh lebih tinggi dari orang-orang yang ke Tanah Suci memang dengan niat menjalankan ibadah haji. Karena baginya haji bukan sekadar mencari kedekatan personal dengan Allah. “Semua pekerjaan membantu sabilillah, para tamu Allah, adalah juga ibadah haji itu sendiri,” kata dia.

Kisah lainnya, sejumlah pekerja kasar yang berseliweran di antara ribuan jamaah haji, memang bekerja melayani jamaah sebagai batu loncatan agar mereka bisa menjalankan ibadah haji. Mereka hadir dengan bayaran yang mungkin tak seberapa dibanding letihnya. Namun keinginan yang tinggi untuk menunaikan ibadah haji, tapi kantongnya tipis, pun bisa membuat seseorang abai dengan nilai materi. Bayaran tertinggi adalah bisa menjalankan ibadah haji, itu sudah lebih dari cukup.

Cerita kawan saya, ada sejumlah porter yang diamatinya secara diam-diam mendengarkan dengan seksama ceramah dari pembimbing haji. Di sela-sela pekerjaanya, ada yang memasang kuping untuk sekadar mendengarkan wejangan manasik, serta rukun-rukun haji yang harus dijalankan. Ilmu kilat yang diperolehnya itulah yang menjadi bekal untuk bisa menjalankan ibadah haji.

Mendengar kisah-kisah tersebut, saya jadi terinspirasi. Dalam hati kecil, saya berdoa, jika Allah berkehendak, panggillah saya untuk ke Tanah Suci, juga sebagai petugas yang bisa melayani para jamaah. Keinginan saya, mungkin akan sedikit melenceng dengan profesi saat ini, karena jujur saya mengincar posisi petugas katering haji!

Mengapa katering haji? Saya terperangah dan tak habis kekaguman membayangkan luar biasanya pekerjaan menyiapkan urusan 'kampung tengah' ini.

Katering termasuk 10 inovasi layanan haji 2018. Inovasinya tahun ini, selama di Makkah, jamaah diberi makan sehari dua kali selama 20 hari. Total 40 kali makan siang dan malam. Tahun lalu, pemberian makanan di Makkah hanya berlangsung 25 kali.

Di Madinah, tetap disediakan 18 kali makan, selama sembilan hari. Juga disediakan sarapan makanan ringan yang disediakan 15 perusahaan katering dan dipantau 42 pengawas.

Di Jeddah, jamaah diberi satu kali makan dari dua perusahaan katering. Ini dimonitor 10 pengawas. Di Arafah Musdalifah, Mina (Armuzna), tersedia 16 kali makan, tiga kali sehari. Katering Armuzna dipasok 19 perusahaan, untuk 26 maktab, dan 44 maktab sisanya, diurus Muassasah.

Ringkasnya, setiap jamaah, disediakan 75 kali makan selama 34 hari. Untuk 203.351 orang, PPIH menyediakan 15.251.325 kotak nasi. Semua masakan itu digodok oleh 72 perusahaan katering yang ada di tiga kota besar, yakni Jeddah, Madinah dan Makkah. Coba bayangkan, siapa yang mampu menyediakan sekaligus mendistribusikan jutaan boks katering itu selama dua bulan lamanya?

Menu yang disiapkan pun semuanya selera Nusantara. Semua bumbu dapur diusahakan cocok buat lidah Indonesia. Kecap rasa Indonesia, sambal bahkan menu tempe, kini bisa dinikmati oleh jamaah haji. Setiap hari, isi boks-boks katering itu berganti secara dinamis. Kadang berisi nasi pecel madiun, bisa berisi bakso malang, esoknya lagi berisi daging semur, kari atau rendang. Sayur asem, tahu, tempe, juga kerupuk, disulap oleh para koki untuk hadir di sana.

Yang menarik adalah peraturan kehangatan makanan yang harus sampai ke jamaah dengan suhu di atas 64 derajat Celcius. Sungguh, peraturan ini sangat sulit namun tidak main-main. Tamu Allah yang datang tidak boleh disediakan makanan dingin. Menurut Kadaker Madinah, Muhammad Khanif, pernah ada lima perusahaan katering harus memulangkan makanan mereka gara-gara kehangatan makanan mereka dipergoki berada di bawah 64 derajat Celcius! Ini serius.

Betapa hebat manajemen waktu para petugas katering yang sanggup memenuhi persyaratan itu. Saya pernah mengerjakan boks katering kurang lebih 200 boks untuk waktu sepuluh hari. Duh, angkanya tentu sangat tidak sebanding dengan 15 juta lebih nasi kotak itu. Apalah artinya yang saya kerjakan itu, dan tahu bagaimana rasanya? Cukup gempor!

Apalagi harus menyajikannya tetap dalam keadaan hangat. Ini perlu perhitungan yang sangat luar biasa. Makanan yang sudah matang, jika terlalu cepat dimasukan ke dalam kotak, menyisakan uap yang banyak dan bisa memicu makanan cepat basi. Padahal, dalam jumlah ratusan bahkan ribuan, perlu gerak cepat berkejaran dengan waktu untuk mengemasnya. Jika telat, syarat suhu di atas 64 derajat Celcius itu bisa terlewati.

Kesibukan para petugas pelayan haji memang berbeda-beda. Ada sopir, petugas perlindungan jamaah, petugas kesehatan, petugas akomodasi, media center dan lain-lain. Tapi, yang paling pusing tampaknya memang petugas katering. Mereka nyaris tak bisa tidur nyenyak sebelum jamaah haji benar-benar kenyang.

 

*) Penulis adalah redaktur republika.co.id

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement