Selasa 06 Nov 2018 08:10 WIB

Waspada Infeksi Baru, Pemerintah Terapkan One Health

Upaya kolaboratif berbagai profesi ilmu kesehatan, disiplin ilmu dan institusi

Red: EH Ismail
Direktur Kesehatan Hewan Ditjen Peternakan dan Kesehatan Hewan Kementerian Pertanian, Fadjar Sumping Tjatur dalam peringatan “One Health Day” di Universitas Udayana, Bali, yang diselenggarakan Kementerian Pertanian (Kementan) dan FAO Indonesia, Sabtu (3/11).
Direktur Kesehatan Hewan Ditjen Peternakan dan Kesehatan Hewan Kementerian Pertanian, Fadjar Sumping Tjatur dalam peringatan “One Health Day” di Universitas Udayana, Bali, yang diselenggarakan Kementerian Pertanian (Kementan) dan FAO Indonesia, Sabtu (3/11).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemerintah mewaspadai kemunculan Penyakit Infeksi Baru (PIB) yang mengancam manusia dan hewan. Untuk mengatasinya, pemerintah menyatukan kerja sama lintas kementerian yang melibatkan para ahli medis, aparat, dan masyarakat.

“Pengendalian PIB dan penyakit zoonosis bergerak menuju konsep ‘One Health’, yaitu upaya kolaboratif dari berbagai profesi ilmu kesehatan, bersama dengan disiplin ilmu dan institusi yang berhubungan serta bekerja di tingkat lokal, nasional dan global,” kata Direktur Kesehatan Hewan Ditjen Peternakan dan Kesehatan Hewan Kementerian Pertanian, Fadjar Sumping Tjatur Rasa di Bali, Senin (5/11).

Menurut Fadjar, kesepakatan ini diputuskan dalam peringatan “One Health Day” di Universitas Udayana, Bali, yang diselenggarakan Kementerian Pertanian (Kementan) dan FAO Indonesia, Sabtu (3/11). Konsep one health  dimaksudkan untuk mencapai tingkatan kesehatan yang optimal bagi masyarakat, hewan, dan lingkungan. Penanganannya tidak lepas dari tiga sektor penting, yaitu: satwa liar, kesehatan hewan, dan kesehatan masyarakat.

Fadjar menjelaskan, kemunculan PIB dan zoonosis, erat kaitannya dengan peningkatan populasi manusia dan hewan/ternak, arus urbanisasi yang tinggi, perubahan sistem pertanian dan alih fungsi lahan (kerusakan hutan), serta globalisasi perdagangan hewan. “Adanya kasus penyakit di satwa liar, kemungkinan dapat menularkan ke hewan domestik atau langsung ke manusia, sehingga memerlukan usaha mitigasi risiko,” ujar Fadjar.

Ia mengatakan,  mitigasi merupakan kemampuan untuk mendeteksi, melaporkan, dan memberi respons awal, sehingga pengendalian penyakit dapat dilakukan di sumber sebelum menginfeksi atau menularkannya ke hewan lain atau bahkan ke manusia.

Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tular Vektor dan Zoonosis (P2TVZ) Kementerian Kesehatan Siti Nadia Tarmizi mengatakan, penyakit zoonosis itu sangat sulit ditemukan obatnya. Menurutnya, flu burung misalkan, saat ini hanya bisa disembuhkan oleh obat Tami Flu.

Oleh karena itu, 3E yang menjadi keutamaan dari One Health yaitu early detection, early reporting dan early response mutlak untuk ditingkatkan di semua sektor. “Kerja bersama lintas elemen menjadi dasar terwujudnya dan terlaksananya one health," terangnya.

Dalam kesempatan yang sama, Team Leader FAO ECTAD Indonesia James McGrane mengakui, one health mudah diucapkan, tapi sulit melaksanakannya. Semua pihak harus membangun empati sosial dan semangat kekeluargaan yang kuat, sehingga semua elemen sosial dari berbagai pemangku kepentingan menyatu.

Ia berharap realisasi one health di Indonesia lebih fleksibel dengan tetap menjaga standard dan kualitas pelaksanaan. “ Saya melihat realisasi pengendalian rabies di Bali yang dilakukan Kementerian Pertanian, FAO, dan lainnya. Di sana terlihat  keberhasilan menyusun Tata Laksana Gigitan Terpadu (Takgit) yang membuat penanganan rabies lebih cepat,” ujarnya.

Konsep tersebut merupakan upaya strategis untuk menjauhkan Indonesia dari ancaman pandemi. Sebab Indonesia dikenal sebagai hotspot penyakit baru di Asia. “Jadi kerja bersama dengan semua sektor itu adalah hal mutlak,” tutur Kepala Subdit Keamanan Hayati Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Lu’lu Agustina.

Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Udayana I Nengah Kerta Besung berharap, para mahasiswa yang hadir dalam perayaan one health akan menjadi agen perubahan yang dapat berkolaborasi, berkoordinasi, dan berkomunikasi lebih baik lagi dalam mengatasi ancaman pandemi.

Menurutnya, mahasiswa memiliki kapasitas intelektual dan semangat yang tinggi, serta aktif berkomunikasi dengan berbagai komunitas pemuda yang merupakan penggerak masyarakat. “Komunikasi dan keterlibatan mahasiswa diharapkan meningkatkan kepedulian masyarakat untuk menjaga kesehatan lingkungan,” pungkasnya.

 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement