Jumat 09 Nov 2018 20:40 WIB

Kelapa Sawit Indonesia Wajib ISPO pada 2023

Sejumlah kendala perlambat penerapan ISPO.

Rep: Melisa Riska Putri/ Red: Friska Yolanda
Anak-anak melihat lahan yang baru pertama kali ditanam sawit di Desa Air Kumbang Bakti, Kecamatan Air Kumbang, Kabupaten Banyuasin, Sumatra Selatan, Senin (15/10).
Foto: Dok Republika
Anak-anak melihat lahan yang baru pertama kali ditanam sawit di Desa Air Kumbang Bakti, Kecamatan Air Kumbang, Kabupaten Banyuasin, Sumatra Selatan, Senin (15/10).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pencapaian Indonesia Sustainable Palm Oil (ISPO) belum bisa dilakukan 100 persen karena banyak pembenahan yang perlu dilakukan. Akhir tahun ini Kementerian Pertanian (Kementan) akan melaksanakan pendataan total terhadap areal perkebunan sawit.

Wilayah yang menjadi prioritas adalah Sumatera Utara, Riau, Kalimantan Tengah dan Papua Barat. "Kita clear-kan datanya kemudian diketahui berapa banyak yang masuk kawasan," kata Direktur Jenderal Perkebunan Kementan Bambang, Jumat (9/11). 

Dengan begitu, bisa segera mengajukan permohonan ke Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) untuk dilepaskan atau Hak Guna Usaha (HGU).

Ada 1,7 juta hektare lahan sawit milik petani yang masuk kawasan. Padahal itu berada di belakang dapur rumah masyarakat. Hal ini pula yang menjadi kendala mengapa sertifikat ISPO belum mampu 100 persen. Dari 13,03 juta hektare, baru 2,35 juta hektare yang ISPO. Itu artinya baru 20,5 persen sehingga masih sekitar 80 persen areal yang belum ISPO.

Diakui Bambang, kendala teknis seperti legalitas lahan dan persoalan tumpang tindih lainnya jika tidak segera diatasi bisa memperlambat penerapan ISPO. Pemerintah pun mengeluarkan Inpres Nomor 8 Tahun 2018 sebagai jalan keluar menyelesaikan masalah tersebut.

Kendala lain berupa tuntutan kemamputelusuran dan Hak Asasi Manusia (HAM) berupa penyelamatan tenaga kerja, hak-hak tenaga kerja dan lainnya juga menjadi bagian dalam kriteria ISPO. Namun, ia melanjutkan, perlu dipahami secara rinci mana yang bisa diterapkan maupun tidak mengingat banyak pihak lain yang menginginkan industri sawit Indonesia jatuh. Semua kendala tersebut diharapkan selesai dalam waktu dekat atau lima tahun dari sekarang yakni pada 2023.

Dengan begitu, pada 2023 baik rakyat maupun swasta secara nasional sudah wajib memiliki ISPO. "Seratus persen ISPO lima tahun dari sekarang Insyaallah kita wujudkan," ujar dia.

Revisi Peraturan Menteri Pertanian (Permentan) pun dilakukan untuk menyesuaikan hal tersebut. "Tiga tahun ke depan diselesaikan," katanya.

Menurutnya, kinerja komisi ISPO dari tahun ke tahun semakin membaik. Sejak ISPO diimplementasikan pada 2011, hingga hari ini ada 695 pelaku usaha yang telah berpartisipasi mendaftar ISPO, terdiri dari 683 perusahaan, delapan KUDIKSU Kebun Plasma, satu BUMDes dan tiga Koperasi Asosiasi Kebun Swadaya.

Sertifikat ISPO terbit pertama kali pada 2013. Hingga tahun 2015, jumlah sertifikasi ISPO yang terbit 127 perusahaan seluas 999.555 hektare dan produksi CPO 4.726.631 ton. Pada 2016 sebanyak 99 perusahaan seluas 569.408 ha dengan produksi CPO 2.344.233 ton, pada 2017 sebanyak 120 pelaku usaha sawit (termasuk dua Koperasi Pekebun Plasma dan dua Koperasi Pekebun Swadaya) seluas 545.488 hektare dengan produksi CPO 2.463.954 ton, dan pada tahun 2018 sebanyak 67 pelaku usaha sawit (termasuk dua koperasi Pekebun Swadaya) seluas 235.867 hektare, produksi dan produksi CPO 669.888 ton. 

Sehingga, saat ini jumlah sertifikasi ISPO yang diterbitkan adalah 413 dengan Iuas areal 2.349.317 hektare, total produksi TBS 45.756.777 ton per tahun dan CPO 10.204.706 ton per tahun. Produktivitas 19,63 ton per hektare per tahun dan rendemen rata-rata 22,97 persen. 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement