Rabu 05 Dec 2018 09:32 WIB

Sertifikat ISPO Belum Cukup untuk Ekspor Sawit ke Eropa

Sertifikat yang diakui Eropa adalah RSPO.

Red: Dwi Murdaningsih
Petani menimbang kelapa sawit di Kinali, Pasaman Barat, Sumatra Barat, Sabtu (1/12/2018).
Foto: Antara/Iggoy el Fitra
Petani menimbang kelapa sawit di Kinali, Pasaman Barat, Sumatra Barat, Sabtu (1/12/2018).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Duta Besar Uni Eropa (UE) untuk Indonesia Vincent Guerend mengatakan sertifikat Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO) belum cukup diakui untuk ekspor minyak kelapa sawit ke Eropa. UE, menurut Vincent, tidak menetapkan standar khusus untuk minyak sawit.

Namun, sebagai importir terbesar kedua minyak sawit Indonesia setelah India, UE mendorong negara produsen untuk memberlakukan standar yang kredibel, kuat, dan dihargai oleh konsumen. "Standar ISPO yang hanya diimplementasikan oleh 15 persen produsen minyak kelapa sawit di Indonesia belum dianggap standar umum dunia," kata Vincent, Selasa (4/12).

Ia mengatakan sejumlah sertifikat minyak sawit yang diproduksi dengan menerapkan prinsip-prinsip keberlanjutan. Diantaranya Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO) memang lebih diakui secara global.

DPD RI ‘Counter’ Propaganda Isu Kelapa Sawit Indonesia

Didirikan pada 2004, RSPO didesain untuk mempromosikan produksi dan konsumsi minyak sawit berkelanjutan untuk manusia, planet bumi, dan kemakmuran. Sebanyak 40 persen dari produsen minyak sawit dunia merupakan anggota RSPO.

Sementara ISPO baru diluncurkan oleh Pemerintah Indonesia pada 2011. Sertifikat ini sering mendapat kritik karena kurangnya keterlibatan organisasi masyarakat sipil dalam penyusunannya.

"Kami sangat mendorong Pemerintah Indonesia untuk meninjau kembali standar ISPO dan mungkin membuatnya lebih bertanggung jawab dan transparan, dan melibatkan partisipasi masyarakat sipil," ujar Vincent.

Sertifikasi menjadi elemen penting dalam industri minyak sawit karena semakin banyak konsumen. Khususnya di Eropa, yang memiliki kesadaran tinggi terhadap aspek keberlanjutan untuk industri yang berdampak besar bagi kelestarian lingkungan.

"Ketika kita bicara tentang pasar bebas, penting untuk meyakinkan konsumen bahwa industri (minyak sawit) ini menerapkan praktik-praktik yang berkelanjutan," kata Vincent.

Berdasarkan data yang dihimpun Sekretariat ISPO, jumlah lahan sawit yang telah memiliki sertifikat ISPO pada 2017 dicantumkan seluas 2,1 juta hektare.  Adapun jumlah lahan yang memiliki sertifikat RSPO mencapai 2,51 juta hektare dan Malaysia Sustainable Palm Oil (MSPO) sebesar 518.793 hektare. Jumlah itu relatif masih kecil dibandingkan total lahan kelapa sawit yang mencapai sekitar 14 juta hektare di Indonesia.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement