Kamis 03 Jan 2019 08:38 WIB

Krakatau yang Melahirkan Tsunami

Pemerintah tampaknya abai terhadap ‘peringatan dini’ dari kajian yang ada.

Red: Elba Damhuri
Warga mendayung sampan dengan latar belakang erupsi Gunung Anak Krakatau di Pelabuhan Pulau Sebesi, Lampung Selatan, Lampung, Selasa (1/1/2019).
Foto: Antara/Sigid Kurniawan
Warga mendayung sampan dengan latar belakang erupsi Gunung Anak Krakatau di Pelabuhan Pulau Sebesi, Lampung Selatan, Lampung, Selasa (1/1/2019).

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Anif Punto Utomo, Ketua Umum Keluarga Alumni Geologi Universitas Gadjah Mada

Tsunami yang melanda pesisir barat Banten dan pesisir Timur-Selatan Lampung mengagetkan kita semua. Tanpa didahului gempa, tiba-tiba Sabtu malam, 22 Desember 2018, tsunami menerjang begitu saja tanpa permisi.

Awalnya, gelombang besar dari laut dikira karena tarikan bulan purnama. Baru beberapa lama kemudian, setelah telanjur jatuh korban ratusan jiwa meninggal dan ribuan luka-luka, secara resmi diumumkan, itu tsunami yang dipicu aktivitas Gunung Anak Krakatau.

Berdasarkan data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), jumlah korban tercatat 426 orang meninggal, 7.202 orang luka-luka, dan 40.386 orang mengungsi.

Sejarah Krakatau tak lepas dari tsunami, dengan tsunami terbesar ketika Krakatau meletus pada 27 Agustus 1883. Hampir setengah abad kemudian, lahir gunung Anak Krakatau yang muncul di tepian kaldera Krakatau.

Anak Krakatau ini terus tumbuh pada 1959 sudah 152 meter, sesaat sebelum runtuh yang mengakibatkan tsunami lalu, ketinggian sudah 338 meter. Ada perbedaan tsunami antara gunung induk dan anak.

Tsunami pada 1883 disebabkan piroklastik aliran yang dimuntahkan dari kawah Krakatau saat meletus. Piroklastik aliran itu meluncur masuk ke laut dengan kecepatan tinggi sehingga mengakibatkan gelombang dahsyat berupa tsunami.

Tsunami 2018 lebih diakibatkan runtuhan batuan dari gunung yang masuk ke laut. Bagaimana runtuhan itu mengakibatkan tsunami? Ini yang sempat menjadi perdebatan.

Secara logika, jika longsoran hanya dipicu meluncurnya material batuan dari atas ke bawah --apalagi tingkat kemiringan Gunung Anak Krakatau tidak terlampau tajam-- sulit membangun kekuatan yang mengakibatkan tsunami.

Energi yang dilepaskan terlalu kecil untuk bisa mengakibatkan tsunami di lautan terbuka. Pada diskusi para pakar gunung api yang diadakan Ikatan Ahli Geologi Indonesia dan Kemenko Maritim, misteri penyebab tsunami mulai menunjukkan titik terang.

Betul, pemicu tsunami adalah runtuhan material dari gunung, tapi bagaimana runtuhan itu terjadi sehingga mampu meluncur ke laut dengan membawa energi besar? Ini diawali perpindahan corong magma yang merupakan saluran magma menuju kawah letusan.

Pada mulanya, kawah letusan berada lurus ke atas di puncak gunung, lalu ada retakan dari kerongkorangan magma yang mengarah ke sisi barat-daya gunung. Selanjutnya, magma mulai mengalir dan terkumulasi ke barat daya sehingga menjadi pusat letusan.

Karena ada penerobosan magma yang sedikit horizontal, massa batuan di atasnya labil lantaran tidak tersangga dengan kuat. Batuan itu berada di atas aliran terobosan magma. Sementara itu, letusan terus terjadi dengan frekuensi sangat tinggi.

Suatu ketika, terjadi letusan cukup besar yang seolah mendorong massa batuan besar itu ke arah barat daya. Jadi runtuhan itu tidak hanya karena efek gravitasi yang meluncurkan material, tetapi juga lebih pada dorongan keras dari samping pada tubuh batuan.

Gunung pun menjadi seperti terbelah. Keterbelahan itu mengonfirmasi keterangan nelayan yang saat tsunami terjadi berada di sekitar Anak Krakatau dan menyaksikan langsung bagaimana gunung yang berada di depannya terbelah.

‘’Gunung seperti pecah, terbelah menjadi dua, satunya runtuh ke laut,’’ kata nelayan tersebut. Saat runtuh ke laut, seketika menyebabkan gelombang sangat besar. Gelombang besar berupa tsunami itu menuju daratan menerjang apa saja.

Dari siaran pers bersama BPPT, LIPI, BMKG, Badan Geologi, dan Kemenko Maritim, pengamatan melalui satelit, deformasi sebelum dan sesudah tsunami memperlihatkan 64 hektare lereng barat daya runtuh.

Runtuhan itu yang berkolaborasi dengan gelombang tinggi mengakibatkan gelombang tsunami. Tsunami bukan gelombang biasa. Tsunami memiliki panjang gelombang lebih besar dibandingkan ombak gelombang biasa.

Perbedaan itu bisa dianalogikan dengan bus dan kereta. Gelombang biasa adalah bus dan kereta adalah tsunami.

Jika bus melaju kencang lalu lepas kendali masuk ke perumahan, yang tertabrak hanya satu atau dua rumah dan bus akan berhenti. Tapi jika terjadi pada kereta, rangkaian kereta menerjang sampai puluhan rumah. Tsunami seperti kereta, tak terbendung.

Tsunami Banten-Lampung sempat membuat lembaga pemerintah gagap tentang siapa yang bertanggung jawab. Apakah BMKG yang tugasnya bersentuhan dengan tsunami (yang dipicu gempa bumi), atau Badan Geologi yang bertugas mengamati gunung api? Koordinasi menjadi poin utama.

Mirisnya lagi, kemungkinan adanya runtuhan material gunung api yang menyebabkan tsunami pernah dipublikasikan Budianto Ontowiryo bersama tim peneliti asal Prancis, Giachetti, dkk.

Mereka memodelkan terjadi proses longsor Anak Krakatau yang menyebabkan tsunami di Selat Sunda. Hasil permodelan menggunakan metode numerical code VolcFlow menunjukkan, terdapat 0,28 km kubik material yang berpotensi mengalami longsor.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement