Senin 21 Jan 2019 23:51 WIB

Industri Jelaskan Alasan Terus Bergantung Gula Impor

Gula rafinasi dinilai tak mengandung molasis, yaitu sampah mikro dan bakteri

Red: Ichsan Emrald Alamsyah
                        Puluhan ton gula rafinasi menumpuk di gudang distributor/pedagang di sekitar Pelabuhan Cirebon, Kamis (3/8).
Foto: dok. APTRI Jabar
Puluhan ton gula rafinasi menumpuk di gudang distributor/pedagang di sekitar Pelabuhan Cirebon, Kamis (3/8).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Asosiasi Industri Kecil dan Menengah Agro Suyono mengatakan, pengusaha makanan dan minuman kelas kecil dan menengah masih membutuhkan gula impor bagi keberlangsugan usaha. Ia pun menyebut tiga alasan utama industri masih bergantung gula impor. 

 "Yang pertama gula rafinasi itu tidak mengandung molasis, yaitu sampah mikro, bakteri dan kuman, yang masih menempel di gula. Ketika ada molasis, makanan kami akan cepat kedaluwarsa," ujar Suyono, yang juga pengusaha dodol, di Jakarta, Senin (21/1).

Dalam informasi tertulis tersebut, Suyono menjelaskan, jika menggunakan gula lokal, saat makanan diekspor, misalnya dodol ke Timur Tengah, makanan semisal dodol, akan berjamur dan kedaluwarsa karena adanya bakteri tersebut. 

Pasalnya, perjalanan ke Abu Dhabi bisa mencapai 20 hari. Kondisi panas dalam kontainer membuat bakteri yang membusukkan makanan tersebut lebih cepat berkembang. 

Ia melanjutkan alasan kedua karena gula rafinasi selalu tersedia dari Januari sampai Desember. Sedangkan jika menggunakan gula lokal, mesti menunggu musim panen. 

Pengusaha juga mengeluhkan masalah harga. Suyono menyebutkan, harga gula lokal bisa lebih mahal hingga Rp2.000 per kilogramnya dibandingkan gula rafinasi. Jadilah pengusaha lebih memilih gula rafinasi karena lebih murah. 

Pilihan menggunakan gula rafinasi impor, ditegaskannya, tidak serta-merta menunjukkan para pengusaha anti produk dalam negeri. Menurut Suyono, pengusaha siap membeli gula dalam negeri jika kualitasnya mampu memenuhi yang ia butuhkan. 

"Kami siap beli gula dalam negeri, Nasionalisme saya tidak perlu dipertanyakan lagi. Saya ini anak petani asli Ciamis, saya juga ingin petani tebu Indonesia sejahtera," jelasnya. 

Sementara itu, peneliti muda Center for Indonesian Policy Studies (CIPS), Assyifa Szami Ilman mengungkapkan, menekan tingginya angka impor gula bukan pekerjaan yang mudah. Ini mengingat konsumsi dalam negeri sangatlah tinggi. Pemangkasan impor gula hanya dapat dilakukan apabila produksi gula dalam negeri mampu memenuhi kebutuhan nasional dengan kualitas baik. 

Ia berpendapat jika produksi gula dalam negeri mampu memenuhi atau setidaknya mendekati angka kebutuhan, kebijakan impor gula dipastikan dapat ditekan. Namun untuk saat ini, jika impor gula terus ditekan, imbasnya alkan membuat harga gula di pasaran melambung.

"Pada akhirnya, konsumen dan unit usaha UMKM yang menggunakan gula sebagai bahan produksinya akan menanggung kerugian," katanya.

Di tempat terpisah, Direktur Eksekutif Asosiasi Gula Indonesia (AGI) Agus Pakpahan mengamini, beberapa industri memang membutuhkan impor gula sebagai bahan baku untuk produksinya. Contohnya industri makanan dan minuman yang memerlukan gula dengan ICUMSA rendah serta industri kesehatan yang membutuhkan gula khusus. 

Khusus untuk industri tersebut, ia mengakui, keperluan memakai gula impor lebih dikarenakan harganya yang lebih terjangkau. Di samping itu, gula impor yang memiliki tingkat ICUMSA di kisaran 45 membuat tampilan makanan dan minuman jauh lebih baik. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement