Kamis 24 Jan 2019 17:26 WIB

Asa Petani Palu Bangkit dengan Kehadiran Fintech

Petani sudah mendapatkan bantuan benih dan bibit tapi belum memiliki modal.

Red: Dwi Murdaningsih
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) bersama fintech Amartha melakukan kunjungan ke Sulawesi Tengah.
Foto: amartha
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) bersama fintech Amartha melakukan kunjungan ke Sulawesi Tengah.

REPUBLIKA.CO.ID, PALU -- Otoritas Jasa Keuangan (OJK) bersama fintech Amartha melakukan kunjungan ke Sulawesi Tengah. Dalam kesempatan itu, Founder dan CEO Amartha, Andi Taufan Garuda Putra dan Direktur Pengaturan Perizinan dan Pengawasan Fintech OJK, Hendrikus Passagi mengunjungi masyarakat petani di Sindue Tobata, Kabupaten Donggala, Sulawesi Tengah.

Kunjungan ini merupakan awal pertemuan dengan komunitas petani yang diinisiasi untuk membuka wawasan terkait potensi pertanian di Sulawesi Tengah.  Basaruddin, salah satu penggagas acara yang juga menggeluti sektor tani di Palu, mengatakan, daerah Sindue merupakan daerah yang terkena dampak parah.

Dalam rangka pemulihan pasca gempa, OJK dan para perusahaan fintech peer to peer (p2p) lending lainnya turut berpartisipasi. Bahkan, salah satu perusahaan fintech lending telah memberikan pendanaan kepada petani yang dilakukan pada 19 Januari 2019 di Palu.

“Iya, karena disana (Sindue) pusatnya gempa, makanya banyak rumah petani yang runtuh. Bentuk kepeduliannya memberikan pendanaan bagi mereka untuk bertani. Kami ingin mengajak perusahaan fintech lainnya untuk ikut terlibat,” kata Bassarudin, yang juga Direktur Operasional PT Karya Bangun Informasi di Palu, baru-baru ini.

Menurut Basaruddin, pendanaan dari fintech ini akan disalurkan melalui PT Karya Bangun Informasi. Perusahaan asal Sulawesi Selatan ini akan memberikan pendampingan kepada petani berupa pembiayaan dan sarana pupuk untuk menggarap lahan dan pemeliharaan.

“Jadi dana yang disalurkan itu 50:50, 50 untuk modal dan 50 untuk pupuk dan teknologi. Sementara itu, kami juga punya pupuk. Kami sudah buktikan bahwa pupuk ini bisa menghasilkan jauh lebih besar dari hasil pertanian selama ini,” ujar Bassarudin.

Pemerintah telah memberikan berupa benih dan pupuk. Namun, sebagian para petani tidak menggunakannya dikarenakan tidak ada biaya untuk menggarap lahan dan pemeliharaan. Sebagian petani yang menggunakan bantuan tersebut, hasilnya pun tidak maksimal, hanya bisa memperoleh hasil antar 3 sampai 4 ton per hektar.

Dengan kehadiran fintech lending, tambah Basaruddin, akan mempermudah para petani mendapatkan pendanaan. Ini akan menjadi terobosan baru bagi para petani. "Nantinya, dengan fintech ini diharapkan dapat meningkatkan produksi dan produktivitas para petani," tutupnya.

photo
Pengusaha perempuan mitra Amartha.

Mengenalkan fintech lending kepada petani

Selama berkunjung di daerah itu, Founder dan CEO Amartha, Andi Taufan Garuda Putra bertemu dan berdiskusi dengan masyarakat petani. Dia menyambut baik peran OJK dan perusahaan fintech lainnya dalam membantu masyarakat petani yang terkena dampak bencana tersebut.

Kedatangannya juga bertemu dan berdiskusi dengan komunitas petani di daerah tersebut yang ingin mengetahui lebih dalam tentang fintech lending. Keberadaan Amartha sebagai fintech lending terpercaya dan aman mendukung perluasan fintech lending di Sulawesi Tengah.

“Amartha mendukung Pemerintah dalam mewujudkan inklusi keuangan. Pada 2017, lima dari 10 mitra Amartha terbebas dari kemiskinan dalam dua tahun, didalamnya termasuk sektor pertanian. Pada awal 2019, kami telah menyalurkan pembiayaan kepada lebih dari 183.000 mitra usaha Amartha, naik sekitar 118 persen dibandingkan tahun 2017 sebanyak  70.000 mitra,” tutur Andi.

Andi menjelaskan, Amartha telah memiliki tim lapangan untuk mendampingi dan mengedukasi para mitra usaha di desa serta menjembatani mereka dengan dunia teknologi keuangan digital. Dengan semangat meningkatkan kesejahteraan, Amartha mendukung pembiayaan bagi pengusaha mikro untuk sektor produktif, seperti perdagangan, pertanian dan peternakan serta industri rumah tangga.

“Kami telah menjangkau 3.500 desa. Saat ini,ada sekitar 69,69 persen berasal dari perdagangan, peternakan 4,79 persen, pertanian 7,65 persen, jasa 3,31 persen, dan di bidang non-produktif sebesar 5,01 persen," ucap Andi.

Dengan tantangan geografis serta ketersediaan infrastruktur yang terbatas, Andi menjelaskan, penduduk di pedesaan belum dapat menikmati layanan keuangan perbankan konvensional secara optimal. Padahal, sektor Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) terutama di pedesaan terbukti berperan besar bagi perekonomian Indonesia. Pada 2016, menurut Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil Menengah (UKM), kontribusi sektor UMKM meningkat dari 57,84 persen menjadi 60,34 persen.

Kesulitan mendapatkan pembiayaan modal dari bank maupun lembaga keuangan lainnya membuat sebagian petani di Palu sulit untuk berkembang. Gerakan yang diinisiasi oleh  Basaruddin ini diharapkan mampu membuka jalan untuk lembaga keuangan lain dalam penguatan sektor tani di Sulawesi Tengah.

Setelah kemunculan fintech lending di Indonesia, petani Palu mulai mendapatkan angin segar bagi kelangsungan usaha mereka. Pasalnya, kehadiran fintech lending mempermudah mereka mendapatkan pendanaan.

"Sangat repot bagi petani untuk mengurus pinjaman. Karena petani ini tidak jelas (tidak mempunyai sejarah kredit). Sangat sulit," kata Basaruddin.

Bassarudin menjelaskan, para petani sangat sulit menghasilkan panen yang maksimal. Ini karena, mereka tidak punya modal untuk menggarap lahan, pemeliharaan serta biaya pembelian persediaan sarana produksi (saprodi).

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement