Senin 04 Feb 2019 05:01 WIB

Sukarno, Lagu, Perempuan, dan Belanja Buku Ahmad Dhani

Semoga tebalnya buku yang ia beli membuatnya kian matang.

Red: Muhammad Subarkah
Ahmad Dhani berjalan menuju mobil tahanan seusai menjalani sidang putusan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Jakarta, Senin (28/1/2019).
Foto: Antara/Sigid Kurniawan
Ahmad Dhani berjalan menuju mobil tahanan seusai menjalani sidang putusan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Jakarta, Senin (28/1/2019).

Oleh: Yusuf Maulana, Pensyarah Perpustakaan Samben, Yogyakarta

Nama Ahmad Dhani Prasetya belakangan ini jadi perbincangan di jagat maya akibat vonis hakim yang ditujukan padanya terkait ujaran di media sosial. Seturut yang prihatin atas putusan beraninya untuk beranjak jauh masuk politik praktis, dan jadi kritis penguasa, ada juga kalangan yang takjub atas perjalanan sosok yang didapuk Presiden Republik Cinta ini.

Apakah Dhani berubah? Mengapa ia dekat dengan kelompok Islamis yang pada masa lalu sering menyerangnya, dan Dhani juga acap mencemooh mereka? Apakah semata politik atau sensasi demi karier bisnis di jagat hiburan?

Banyak orang mengaitkan kegundahan Dhani dengan menjadi pendukung Prabowo Subianto dan sebarisan dengan banyak Islamis eks seterunya lantaran soal ekonomi. Amatan ini seolah terbantah dengan ketegaran yang ditempuhnya menjalani proses hukum yang bagi banyak orang kasatmata ingin menjerembab Dhani.

Seyogianya kita bisa melihat perjalanan Dhani ini sebagai senarai fase mencari hikmah. Bisa ini satu tahap yang akan ada tahap selanjutnya. Bisa juga ini tahap kematangan dia. Apa pun itu, Dhani bukan manusia banal yang kosong dari narasi. Apa pasal? Karena ia dikenal pencinta bacaan "berat". Dari tumpukan bukulah, salah satunya, dia menuangkan pikiran dan emosinya.

photo
Ahmad Dhani ketika mencari buku lama untuk koleksinya. (foto: Aldy Dunia Pecinta Buku?")

Dari sebuah lapak buku lawas kenalan di Ibu Kota, saya terpana mendapati nota pembelian buku lama oleh Ahmad Dhani. Melihat nominal memang relatif bagi lelaki sekaya Dhani. Tapi tidak banyak bukan selebritas yang mau membelanjakan uang secara royal guna beli buku-buku lawas lagi berbobot (dalam sejarah) dalam satu kali jalan?

Saya tidak mau tahu ia akan membaca semua buku yang dibelinya itu ataukah sekadar pajangan pembeda diri. Jangan juga kaitkan sebagai modus ia memviralkan diri ke publik, sebagaimana ia pernah tempuh jalan selaku peserta kontestasi kepala daerah.

Dan kini ia acap tampil luas mengkritik kekuasaan, di antaranya dengan lagu. Yang saya mafhum, ia memang pintar. Bila bacaan yang pengaruhi lirik gubahannya dari para ahli tarikat, judul yang ada di nota kalo ini malah perkuat personal yang lama ia sempat lekati: Sukarno.

Kalau Anda ingat, di cover album solo perdananya, ia mempersonifikasikan sebagai Sukarno. Saya tahu ia pintar. Ia bukan lakukan hal iseng dan hanya ingin dibilang trendi. Saya tak yakin meski ia agak goyah selepas berpisah dengan Maia. Saya sempat ikuti ia semasa album "Kangen" bersama band teman SMA-nya: Dewa. Otaknya memang ia. Sampai kini. Bahkan sudah jamak diketahui kalaulah ia ingin jadi mataharinya.

Hal berikutnya, ia punya kekasih yang lantas dinikahinya: Maia. Anak rektor kampus beken-negeri di Surabaya. Seperti sang bapak, Maia juga cerdas. Tapi cerdas Dhani dan cerdas Maia tak selalu ideal dalam senyawa cinta keduanya. Ada kuasa yang tak sebatas relasi taat di kasur-dapur-sumur. Apalagi sejak sosok Dhani kian tahbiskan diri sebagai maskulin yang tak termenduakan.

Dhani, entah mengapa, seolah lupa, sang istri anak darah turunan HOS Tjokroaminoto. Bukan tipe penurut dan mudah dikendalikan sesuai keinginan. Dalam perspektif sosial-budaya, apalagi Jawa, pengagum Sukarno mengatasi anak turunan Tjokroaminoto tidaklah elok. Bagaimanapun Sukarno anak didik Tjokroaminoto. Dhani lupa ini. Dan ia pun terus jadi pendominasi yang lupa harkat dan potensi istri. Tak aneh kalau badai bahtera tiba.

Bagi saya, tidak aneh kalau Dhani lebih memilih sosok perempuan lain yang energik sekaligus bisa dikendalikan dan "cukup pintar" (tidak harus "pintar" atau "amat pintar"). Maia serupa Fatmawati. Bu Fat tak mau dimadu, dan rela tak lagi seranjang sejak Sukarno menikahi perempuan lain. Maia? Tidak, ia waris kesatria mbah buyutnya. Bercerai lebih "mulia".

Buku-buku Dhani yang pernah diangkut ini semoga saja kembalikan ia dalam sejarah. Bisa berdamai dengan obsesinya yang besar di podium seni tarik suara. Tidak memecut ambisi sebagaimana Sukarno. Kalau buku adalah sumber kebijakan, semoga tebalnya buku yang ia beli membuatnya kian matang dibanding Sukarno. Matang untuk merendahkan hati bahkan jauh sebelum jauh memimpin rakyat. Termasuk dalam posisinya kini bersama barisan oposisi penguasa, berikut perlakuan yang tidak adil padanya.

photo
Nota pembayaran buku-buku langka yang dibeli Ahmad Dhani. (foto: Aldy Dunia Pecinta Buku?")

Semua tulisan ini mohon jangan dipolitisasi, terutama oleh sobat yang mengusung Dhani, sebagai bentuk dukungan ataupun yang menjadikan ia naik pamor. Ini sebatas soal apresiasi atas "keberanian" ia membeli buku dengan nominal wah menurut ukuran saya. Itu saja.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement