Sabtu 09 Feb 2019 13:53 WIB

Pesantren, Kaligrafi, Lagu : Menelisik Buku Kisah Dhani Dewa

Kisah soal sosok Ahmad Dhani yang unik semakin bertebaran.

Red: Muhammad Subarkah
Terdakwa kasus dugaan pencemaran nama baik Ahmad Dhani (tengah) bersiap mengikuti sidang dakwaan di Pengadilan Negeri Surabaya, Jawa Timur, Kamis (7/2/2019).
Foto: Antara/Umarul Faruq
Terdakwa kasus dugaan pencemaran nama baik Ahmad Dhani (tengah) bersiap mengikuti sidang dakwaan di Pengadilan Negeri Surabaya, Jawa Timur, Kamis (7/2/2019).

Oleh: Muhammad Subarkah, Jurnalis Republika

Pagi ini ada kejutan baru yang menghentak  soal sosok Ahmad Dhani. Ini cerita dari seorang sahabat saya yang kini menjadi wartawan senior di sebuah media. Kisah tersebut tentang sosok Ahmad Dhani di awal karier yakni di pertengahan tahun 1995. Kala itu lagu grup bandnya mulai naik daun. Salah satu hits lagunya yang dikenangnya sampai sekarang adalah lagu ‘Kangen’.

Namun, sahabat itu bukan mau bercerita soal lagu-lagunya 'Dewa 19'.  Dia mengaku ingin bercerita saja soal Dhani sebagai manusia biasa. Bukan sebagai artis atau pesohor.

Apa yang dia ingin disahkan? Hal itu ternyata sepele, namun menyentuh hati, yakni soal sumbangan Dhani kepada sebuah ‘kiai kampung’ yang hidup terpencil di lereng Gunung Merapi. Pesantrennya tak banyak santri. Sang kiai malah lebih banyak fokus mengurus masyarakat layaknya pekerja sosial. Orang bermasalah bahkan sering disebut masyarakat sebagai ‘gila’ diurusnya hingga sembuh. Para orang tua yang datang kepadanya untuk minta agar anaknya berhenti dari kebandelannya, banyak sekali minta didoakan. Semua itu dituruti sang kiai itu dengan tulus ikhlas.

‘’Kurun waktunya itu terjadi di sekitar 1994-1995. Saya juga kaget ketika nama Ahmad Dhani disebut secara langsung kiai itu sebagai salah satu penyumbang pesantrennya. Mulanya saya agak kaget, tapi melihat dia bercerita dengan santai saya jadi yakin memang benar adanya. Apalagi saat itu Dhani secara terbuka mengatakan ‘menjadi pengikut Gus Dur’. Jadi jelas ada hubungan atau benang merah kyai itu dengan Gus dur yang menjadi idola Ahmad Dhani,’’ katanya yang kala itu masih kuliah di Univeritas Gajah Mada, Yogyakarta.

“Sudah tak ingat tanggal persisnya. Tapi kisaran memang di awal karir Dhani di pertengahan 90-an. Nama itu kyai itu pun sudah saya lupa. Yang saya ingat sekarang di nama belakanya pakai ‘Dir’. Yang jelas di menjadi pengasuh sebuah ponpes yang lumayan luas di ujung kawasan Kaliurang, Jogja.  Tepatnya di kawasan Cangkringan yang terpencil dan persis di lereng gunung,’’ katanya. Kala itu kawasan Cangkringan masih rimbun, beda dengan sekarang berpasir dan gundul imbas letusan Merapi.

Menurutnya, Pak Kiai itu kala itu memang masih muda, nyentrik dan berambut  gondrong. Tubuhnya ceking. Kalau di terima tamu sambil rebahan di sofa. ‘’Saya datang ke sana bareng teman yang kini sudah jadi dokter,’’ ujarnya.

Tentu saja, saat bertandang ke pesantren itu, saya terheran-heran dengan gaya Pak Kiai nyentrik itu. Para tamu terus datang ke rumahnya silih berganti. Yang dimintapun unik, yakni masalah anak, keluarga, hingga soal keruwetan hidup sehari-hari. Mereka datang untuk meminta doa sekaligus nasihat sebagai solusi.

Uniknya lagi, dia menerima tamu dengan sikap biasa saja, sambil tiduran di sofa atau sembari ngobrol dengan tami lainnya. Misalnya, kala itu saya lihat ada seorang tamu yang datang menemuninya. Dia diterima di ruang tengah. Si tamu kemudian duduk sembari bersimpuh di lantai, sedangkan sang Kiai duduk sembari berulangkali meletakan badannya untuk tiduran di sofa. Pada saat yang sama dia juga masih sibuk melayani obrolan dengan tamu lain.

‘’Pak kiai mohon tolong doakan anak saya. Dia bandel sekali,’’ kata si tamu yang ternyata seorang ibu. Kiai tidak langsung menjawabnya. Dia hanya memperhatikan sekilas yang terkesan mengacuhkannya. Tapi si tamu tetap duduk menunggu ucapannya karena dia dan para tamu lainnya sudah paham tabiat sang kiai yang bagi orang umum disebut ’slengekan’. Si tamu tetap duduk bersimpuh menunggunya dengan sabar.

Tapi tak lama kemudian, tiba-tiba ada jawaban yang juga bernada cletukan. ‘’Kalau soal anakmu ya urus yang bener anakmu,’’ katanya. Sembari bicara begitu dia kemudian meraih gelas lalu mengisinya dengan air putih yang kemudian dia beri doa air tersebut. Setelah itu air diberikan kepada tamunya.

’’Nih minumkan ke anak ibu. Insyaallah gak bandel lagi,’’ katanya. Ibu itu kemudian menerima dan kemudian pamit pulang.

Selain pemandangan itu, sahabat saya takjub dengan pemandangan lain yang tampak di depan matanya. Yakni melihat bangunan pesantren yang lumayan megah dan banyaknya tumpukan rokok ‘Ji Samsu’  yang ada di dekatnya. Semua ini jelas menandakan bahwa ‘kiai’ itu selalu punya uang baik untuk membangun pesantren, membeli rokok, hingga mencukup kebutuhan hidup sehari-hari lainnya. Padahal kiai ini tak punya pekerjaan dan seharian hanya tidur-tiduran di sofa. 

Saking penasarannya, sahabat saya itu kemudian bertanya. ‘“Maaf, Pak Kiai kan gak kerja untuk cari duit. Dari mana dana untuk ponpes? Dari mana juga untuk bei rokok sebanyak itu,’’ katanya sambil melirik rokok berbungkus kuning yang bertumpuk dan berceceran di meja.

Dengan ‘cuek’-nya sang kyai menjawab, “ Lha kan masih banyak orang baik, ikut memikirkan pondok ini. Salah satunya Ahmad Dhani itu. 10 persen keuntungan penjualan album Dewa 19, dikasihkan ke sini.”

" Ya saya pun kaget bukan main mendengar jawaban itu. Dan sesudah itu saya pun makin paham karena setelah itu saya berulangkali melihat Dhani berdesakan dengan masa di Alun-Alun Utara Jogja menyambut ke datangan Gus Dur. Saat itu dia sudah jadi ’super star’, tapi Dhan pun cuek saja berbaur dengan masa biasa di area lapangan yang ada peris di depan Keraton Yogyakarta'' katanya lagi.

photo
Gus Dur dan Ahmad Dhani. (foto: Google.com)


“Nah semenjak itu pula saya langsung menjadi penggemar Lagu Kangen, Ahmad Dhani. Syairnya lagu itu aku ingat betul meski sudah lebih dari 20 tahun lalu: 
Kut'rima suratmu, t'lah kubaca, dan aku mengerti,’’ tukasnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement