Senin 11 Feb 2019 17:58 WIB

Kemenperin Targetkan Pertumbuhan IKM 5,5 Persen pada 2019

Dari 27 ribu IKM yang ada di Indonesia, baru 300 IKM yang mampu mengekspor produknya

Rep: Adinda Pryanka/ Red: Nidia Zuraya
Pengunjung melihat sepatu kulit yang dijual dalam pameran produk unggulan Industri Kecil dan Menengah (IKM). (Republika/Agung Supriyanto)
Foto: Republika/Agung Supriyanto
Pengunjung melihat sepatu kulit yang dijual dalam pameran produk unggulan Industri Kecil dan Menengah (IKM). (Republika/Agung Supriyanto)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kementerian Perindustrian (Kemenperin) menargetkan pertumbuhan industri kecil dan menengah (IKM) mencapai 5,5 persen sampai akhir 2019. Target ini lebih rendah dibanding pencapaian pada 2018 yang menurut Badan Pusat Statistik (BPS) adalah 5,6 persen dibanding dengan 2017.

Direktur Jenderal IKM dan Aneka Kemenperin Gati Wibawaningsih mengatakan, target tersebut dengan mempertimbangkan kondisi ekonomi internasional yang diperkirakan masih mengalami kondisi tidak stabil. "Mau tidak mau, ekonomi dunia pasti berpengaruh terhadap ekonomi kita, termasuk IKM," ujarnya ketika dihubungi Republika, Senin (11/2).

Tapi, Gati menjelaskan, target tersebut lebih tinggi dibanding dengan target pertumbuhan industri non migas, yakni 5,4 persen. Ia melihat adanya peluang dari peningkatan produktivitas dari tiap sektor IKM yang diunggulkan, seperti tekstil dan produk tekstil.

Kondisi ekonomi dunia, Gati menambahkan, memberikan pengaruh terhadap permintaan produk dari Indonesia. Apabila situasinya membaik, maka permintaan terhadap produk lokal juga semakin banyak untuk ke luar. Sebab, tidak sedikit produk yang diminta berasal dari industri besar, melainkan juga disupply dari IKM.

Saat ini, Gati mencatat, hanya sekitar 300 IKM yang sudah memiliki kapasitas untuk mengirimkan produknya ke luar negeri. Angka tersebut hanya sekitar satu persen dari total 27 ribu IKM dengan didominasi oleh skala menengah.

"Tahun ini, kami targetkan 3.000 IKM dapat ekspor ke berbagai negara," katanya.

Dari beberapa sektor yang ada, Gati menunjuk setidaknya ada lima sektor andalan untuk meningkatkan pertumbuhan IKM. Di antaranya untuk mendorong ekspor. Empat sektor itu adalah makanan dan minuman, elektronika, komponen otomotif, tekstil dan produk tekstil serta kerajinan.

Menurut Gati, lima sektor tersebut hampir selaras dengan industri besar yang difokuskan Kemenperin untuk mencapai pertumbuhan industri dalam roadmap Revolusi Industri 4.0. "Pengembangan kami harus inline dengan menambah satu sektor, kerajinan," ucapnya.

Amerika dan Eropa masih menjadi pasar tradisional yang menjadi sasaran ekspor produk IKM. Khususnya untuk sektor kerajinan dengan segmentasi pasar yang spesifik. Selain dua pasar 'lama' itu, Gati berencana memperluas negara tujuan, termasuk di kawasan Asia Selatan dan Asia Tengah hingga Afrika.

Selain IKM yang sudah ada, Kemenperin turut mendukung pembinaan perusahaan rintisan atau startup untuk go international melalui program Asia Entrepreneurship Training Program (AETP) di Gedung Kemenperin, Senin. Pelatihan ini mendorong perusahaan rintisan untuk dapat bersaing di dunia global.

Dalam kesempatan tersebut, juga dilakukan soft launching Swiss-Indonesian Acceleration Startup Program. Kegiatan akselerasi startup yang berlangsung dari April hingga September 2019 ini memungkinkan terbukanya akses ekosistem startup antara Swiss dengan Indonesia.

Menurut Gati, program tersebut dilaksanakan secara paralel di Swiss dan Indonesia dengan waktu yang bersamaan. Dengan begitu, peserta program di kedua negara dapat saling berinteraksi. "Ini juga kesempatan bagi perusahaan rintisan Indonesia untuk memperluas jaringan," katanya.

Sementara itu, Ekonom dari Institute for Development of Economic and Finance (Indef) Andry Satrio Nugroho mengatakan, pertumbuhan industri secara keseluruhan tetap akan menurun. Baik itu untuk skala besar maupun kecil dan menengah.

Ada dua faktor yang melandasi prediksi Andry. Pertama, investasi baru kembali membaik setelah pemilihan presiden 2019, terutama asing yang membawa modal besar.

Kedua, rebalancing perdagangan dimulai setelah ada kesepakatan baru antara Cina dan Amerika Serikat, di mana sampai saat ini proses perundingan terus berlanjut.

Andry menambahkan, sebenarnya, IKM bukan pasar ekspor yang justru dikejar. Sebab, dari segi produk, nilai kompetisi produk IKM masih cukup rendah sehingga akan kewalahan apabila harus bersaing dengan produk luar negeri. "Itu baru dari segi kualitas, kita belum berbicara soal kuantitas," ujarnya.

Alih-alih untuk pasar ekspor, IKM diharapkan mampu memenuhi kebutuhan industri besar. Meski dapat berasal dari dalam negeri, akan lebih baik jika industri besar itu di luar negeri. Sebab, otomatis target ekspor pemerintah akan naik karena IKM menjadi bagian dari global supply chain. 

Selain itu, Andry mengatakan, IKM seharusnya bisa menjadi penghalang impor bahan baku dengan memberikan produknya kepada industri besar yang membutuhkan. Selama ini, industri besar tidak dapat menghasilkan bagian kecil dari produknya karena masalah economies of scale. "Tapi, mereka justru memenuhinya dari produk impor," ucapnya.

Andry menekankan, pemerintah harus menjadikan IKM bagian dari rantai industri dalam negeri dulu, baru setelah itu berbicara ekspor. Tanpa adanya hal itu, IKM akan sulit berkembang. Ada dua syarat agar IKM bisa menjadi bagian dari industri besar yaitu harga kompetitif dan kualitas yang baik.

Selain itu, Andry menjelaskan, dirinya belum melihat lagi program e-smart IKM yang bekerjasama dengan marketplace seperti Tokopedia dan Bukalapak. Menurutnya, pendekatan yang dilakukan masih terlalu kuno dan belum menampilkan produk IKM secara nyata.

Seharusnya, Andry menuturkan, apabila ingin menguasai marketplace, IKM tersebut perlu didorong. Misanya, tampil di halaman muka atau menjadi bagian dari flash sale. "Dengan begitu, masyarakat lebih tertarik untuk membeli produk-produk IKM kita," tuturnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement