Rabu 13 Feb 2019 15:21 WIB

Mengenal Tradisi dan Keunikan Pesantren (5)

Banyak perjuangan yang diinisiasi kaum santri untuk melawan penjajah

Red: Hasanul Rizqa
Sejumlah santri mengikuti upacara petingatan hari santri di pelataran Monas, Jakarta, Sabtu (22/10). Peringatan hari santri diselengarakan untuk mengenang perjuangan kaum santri dalam kemerdekaan dan pembangunan Indonesia.
Foto: Republika/Prayogi
Sejumlah santri mengikuti upacara petingatan hari santri di pelataran Monas, Jakarta, Sabtu (22/10). Peringatan hari santri diselengarakan untuk mengenang perjuangan kaum santri dalam kemerdekaan dan pembangunan Indonesia.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Di Tanah Suci, para pelajar dari Nusantara dapat disebut sebagai komunitas Jawi. Pada masa transisi abad ke-19 dan 20, mereka kian aktif dalam diskusi-diskusi mengenai rupa-rupa topik, termasuk reformisme Islam. Itulah gagasan hangat pada era itu.

Subhan (2012) menyebut, dalam konteks ini figur-figur seperti Syekh Nawawi al-Bantani (wafat 1897), Syekh Muhammad Mahfudz at-Tarmasi (wafat 1919), Kiai Khalil Bangkalan (wafat 1924), Kiai Asnawi Kudus (wafat 1959), dan Kiai Hasyim Asyarie (wafat 1947) merupakan para “arsitek” pesantren di Indonesia. Tidak hanya dalam hal membangun fisik pesantren, tetapi juga terutama pengembangan kualitas lembaga islami-tradisional itu.

Beberapa di antara komunitas Jawi bukan hanya perantau yang mengenyam pendidikan di Haramain, melainkan juga berperan sebagai guru besar di Makkah-Madinah. Sebut saja, Syekh Nawawi al-Bantani dan Syekh Muhammad Mahfudz at-Tarmasi.

Di Tanah Air, perhatian para kiai tidak hanya pesantren, tetapi juga masyarakat tempatnya tinggal. Konteksnya waktu itu adalah kerasnya penjajahan Barat. Para kiai dan santri menyerukan semangat perlawanan untuk menjaga kehormatan agama dan bangsa.

Sejarawan Ahmad Mansur Suryanegara menukil Clifford Geertz (1968) yang mencatat sedikitnya empat perjuangan kaum santri antara tahun 1820 dan 1880. Pertama, di Sumatra Barat pada 1821-1828. Perlawanan itu timbul lantaran para haji menentang kaum adat yang bagi mereka belum mengamalkan Islam secara murni. Kejadian ini berakhir dengan intervensi militer Belanda, sehingga menyengsarakan seluruh mayoritas orang Minang.

Baca juga: Mengenal Tradisi dan Keunikan Pesantren (4)

Kedua, di Jawa Tengah pada 1825-1830. Sesungguhnya, peristiwa ini berkaitan dengan gerilya Pangeran Diponegoro dan para pengikutnya. Dalam konteks ini, Geertz menggolongkan sosok bernama asli Mustahar itu sebagai santri. Ketiga, kejadian di Banten yang berturut-turut pada 1834, 1836, 1842, dan 1849. Di sana, kaum santri bersama dengan komunitas Muslimin lainnya memberontak terhadap sistem Tanam Paksa yang dijalankan Belanda. Pada 1880 dan 1888 terjadi lagi perlawanan bersenjata yang lebih dikenal sebagai Geger Cilegon.

Keempat, di Aceh pada 1873-1903. Perang Aceh memang legendaris. Sejumlah peneliti menyebut pertempuran itu usai bukan pada 1903, melainkan lebih jauh lagi, yakni tahun 1912 atau 1936. Menurut Amirul Hadi dalam Aceh: Sejarah, Budaya dan Tradisi, itulah perang yang paling lama dan termahal dalam sejarah Hindia Belanda.

Masyarakat Aceh menganggap pertempuran itu sebagai jihad di jalan Allah (prang sabil). Militer Belanda disebut sebagai kaum kafir (kaphee) yang harus ditumpas karena membahayakan kedaulatan Islam di Tanah Rencong. Seruan-seruan jihad diabadikan dalam pelbagai karya sastra setempat, semisal Hikayat Prang Sabi.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement