Jumat 01 Mar 2019 08:11 WIB

Menikmati Wisata Budaya di Kampung Budaya Polowijen

Selain lestarikan tari tradisional, Kampung Budaya gelar pelatihan pembuatan topeng

Red: Ichsan Emrald Alamsyah
Kampung Budaya Polowijen
Foto: ERIK PURNAMA PUTRA/REPUBLIKA
Kampung Budaya Polowijen

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Erik Purnama Putra

 

Faruk dan Pramana yang masih tercatat sebagai siswa sekolah dasar (SD) kelas IV dan TK Asy-Syahriah dengan lincahnya menggerakkan tangan ke atas ke bawah, dan ke samping dengan serasi. Di sebuah saung yang disulap menjadi panggung berukuran 2x5 meter, kedua bocah tersebut memukau hadirin setelah menuntaskan tari topeng grebeg sabrang diiringi musik dari sound system.

Bahasa tubuh Faruk dan Pramana sangat ekspresif, padahal keduanya sedang memakai topeng dan hanya dapat melihat dari lubang sangat kecil hingga jarak pandang terbatas. Keduanya mampu meliukkan badan, menghentikkan kaki, dan menggelengkan kepala, disertai gerakan tanggan dengan kompak.

Pelaksana Tugas (Plt) Kepala Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) Hariyanto pun memberikan tepuk tangan atas penampilan kedua anak kecil tersebut. Arkeolog asal Malang Dwi Cahyono, dosen seni Universitas Negeri Malang Robby Hidajat, serta tokoh tari topeng Malang Wahyu Eko Setyawan, turut memberikan aplaus.

Faruk dan Pramana pun membuka topeng yang menutup wajahnya, kemudian tersenyum atas apresiasi yang diterima hadirian. Acara penyambutan tamu di Kampung Budaya Polowijen ditutup dengan foto bareng Hariyono bersama kedua penari cilik tersebut.

Penggagas Kampung Budaya Polowijen, Isa Wahyudi alias Ki Demang selanjutnya mengajak para hadirin untuk ikut menari secara bersama-sama. Dengan memakai selendang, para hadirian secara kompak ikut menari mengikuti gerakan Ki Demang. "Ini tarian untuk menyambut tamu," kata Ki Demang yang memakai blangkon dan baju lurik ketika ditemui, belum lama ini.

Ki Demang mengatakan, Faruk dan Pramana merupakan satu dari sekian anak-anak di Kelurahan Polowijen, Kecamatan Blimbing, Kota Malang, yang selama ini mengikuti latihan tari yang diinisiasinya. Setiap sepekan sekali, mereka diajar gerakan tari setiap malam pada akhir pekan, secara gratis. Karena sudah terbiasa latihan dan tampil di beberapa acara, kedua bocah tersebut tidak canggung menunjukkan kemahirannya dalam menari.

Ki Demang menuturkan, selain melestarikan berbagai tari tradisional, di Kampung Budaya Polowijen juga diadakan pelatihan pembuatan topeng maupun membuat motif batik Ken Dedes. Dia mengungkapkan, setiap tamu yang datang, khususnya pejabat pasti akan diajak menari sebelum mereka pulang. Hal itu dilakukannya sebagai sebuah 'tradisi' untuk menghormati tamu sekaligus mengenalkan ragam budaya yang dijaga di Kampung Budaya Polowijen.

Saat Republika mendatangi Kampung Budaya Polowijen, suasana akrab langsung terasa, karena warga dengan hangat menyapa tamu yang datang. Suasana sangat meriah lantaran mereka yang aktif di Kampung Budaya Polowijen menyuguhkan ragam kegiatan yang menyita perhatian, di antaranya kriya dan pasar topeng, barang seni kerajinan, batik, dan kegiatan workshop tata rias yang dilakukan para penari.

Kampung Budaya Polowijen berada di RT 03 RW 02 kelurahan Polowijen, Kecamatan Blimbing, Kota Malang, yang diresmikan pada 1 April 2017. Sekitar belasan rumah warga yang berada di sekitarnya, diberi ornamen bambu agar menarik perhatian pengunjung.

Untuk menghadirkan aura tempo dulu, di Kampung Budaya Polowijen dibangun beberapa rumah bambu, gazebo, serta panggung bambu, yang semuanya atas prakarsa masyarakat setempat. Adapun di sisi utara merupakan areal persawahan, hingga membuat suasana kampung benar-benar terasa nyata. Padahal, daerah tersebut sebenarnya masuk permukiman Kota Malang yang padat penduduk.

Ki Demang menerangkan, tidak jauh dari Kampung Budaya Polowijen, terdapat situs budaya makam Mbah Reni dan Ken Dedes. Mbah Reni diyakini sebagai orang pertama yang membuat topeng malangan, dan tercatat meninggal pada 1935. Berjarak selemparan batu, juga ada petilasan yang diyakini sebagai situs tempat kelahiran istri Raja Singosari Ken Arok pada abad ke-13 tersebut. Karena itu, salah satu kreasi anggota Kampung Budaya Polowijen dalam membuat kerajinan dinamakan batik Ken Dedes. 

Menurut Ki Demang, hasil kreasi topeng maupun batik Ken Dedes yang dijual kepada pengunjung, digunakan untuk menghidupi perekonomian warga yang tinggal di sekitar Kampung Budaya Polowijen. Khusus untuk hasil topeng dari bahan kayu, sambung dia, seluruh perajin dari Malang Raya yang kesulitan memasarkan hasil karyanya dikumpulkan di Kampung Budaya Polowijen.

Barang tersebut akan dipajang atau ditawarkan kepada yang datang dari luar kota, luar pulau, hingga luar negeri, hingga terjual. "Kita di sini juga buat pasar topeng, ini mungkin satu-satunya di dunia, karena kalau pasar seni sudah banyak. Kami ini merintis, cuma memang kendala modal dan SDM, padahal sudah mau bergerak," kata Ki Demang.

Menurut Ki Demang, semua sarana yang dibangun itu semuanya digunakan untuk kegiatan seni dan budaya. Segala macam aktivitas rutin mulai tari topeng, kerajinan topeng, kriya batik, permainan tradisional, tembang mocopat, musik dolanan, pasar topeng, dan pasar tradisional, lanjut dia, semuanya diadakan di Kampung Budaya Polowijen berdasarkan semangat untuk melestarikan warisan leluhur.

Ki Demang menuturkan, kampung budaya yang dikelolanya sudah menjadi tujuan bagi berbagai mahasiswa dalam negeri hingga luar negeri yang belajar seni tari maupun pembuatan topeng. Bahkan, belum lama ini ada beberapa mahasiswa asing yang sedang kuliah di sebuah kampus di Kota Malang, menyempatkan diri belajar menari dan membuat topeng di Kampung Budaya Polowijen.

Mereka bahkan sampai ada yang menginap demi belajar untuk mengetahui seluk beluk pembuatan topeng khas Malang. Meski begitu, Ki Demang menegaskan, kampungnya bukan diarahkan untuk menjadi lokasi tempat wisata, melainkan sebagai tujuan cross culture study. Hal itu dilakukan agar niat merawat dan melestarikan budaya asal Malang tidak melenceng dari tujuan awal.

Dia menyebut, sejak berdiri satu setengah tahun lebih, Kampung Budaya Polowijen sudah bisa mengadakan 14 kegiatan berskala besar. Namun, karena lokasinya yang sempit berada di tepi kali dan persawahan membuat menjadi tidak representatif. Ki Demang mengatakan, ketika jumlah pengunjung mencapai 300 orang saat ada acara tertentu, membuat kenyamanan menjadi berkurang karena harus berdesak-desakan.

Hal itu juga dipicu jalan depan rumah warga hanya berukuran sekitar 1,5 meter. Meski begitu, ia bangga dengan semangat gotong royong yang dilakukan bersama dengan warga sekitar, Kampung Budaya Polowijen namanya terus bergaung seantero negeri. "Kita mampu tiap bulan ada //event// besar. Kita ini mandiri 100 persen, dan nol dari pemerintah," ucap Ki Demang.

Istri Ki Demang yang juga bendara Kampung Budaya Polowijen, Ana Sopanah menuturkan, karena semua operasional dilakukan secara swadaya, membuat pengurus kampung budaya kadang harus berpikiran ekstra keras agar aktivitas yang diadakan tak membebani anggota yang merupakan warga sekitar. Ana mengatakan, salah satu masalah yang perlu dicarikan solusi adalah menggeliatkan perekonomian warga agar mendapat manfaat dengan hidupnya Kampung Budaya Polowijen. 

Dia menyebut, kadang hasil kerajinan topeng maupun batik ketika sudah jadi, kesulitan untuk dijual, karena pasarnya dari dulu tidak berkembang. "Saya ikut memikirkan memasarkan, mengurus acara dan mencari orang untuk membeli, ini masalahnya," kata Ana yang berprofesi sebagai dosen Universitas Widyagama Malang ini.

Warga sekitar yang juga pegiat di Kampung Budaya Polowijen, Heny Chanin menjelaskan, kampung budaya sudah menjadi tujuan banyak orang yang ingin belajar tentang budaya. Menurut Heny, orang luar yang tertarik dengan seni tari, pembuatan topeng, hingga membatik bisa belajar langsung dari para pakarnya yang setiap hari menggeluti bidang tersebut.

Dengan bangga, Heny bercerita, belum lama ini ada tiga mahasiswa asal Cina yang menjalani kursus singkat agar bisa belajar tari dan membuat topeng di Kampung Budaya Polowijen. Karena tidak ada ketentuan biaya, para pengurus akhirnya dibayar sekadarnya saja. "Hanya Rp 50 ribu per orang, sudah termasuk makan," ucap Heny.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement