Ahad 17 Mar 2019 18:03 WIB

Analis: Investor tak Tertarik Beli Saham Anak Usaha BUMN

Ada krisis kepercayaan dari pasar terhadap anak usaha BUMN.

Rep: Dedy Darmawan Nasution/ Red: Budi Raharjo
Pekerja menyelesaikan konstruksi jalan tol layang Jakarta-Cikampek (Japek) II di Bekasi, Jawa Barat, Jumat (27/7).
Foto: Antara/Sigid Kurniawan
Pekerja menyelesaikan konstruksi jalan tol layang Jakarta-Cikampek (Japek) II di Bekasi, Jawa Barat, Jumat (27/7).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kepala Riset PT Koneksi Kapital, Alfred Nainggolan, mengatakan, dalam satu hingga dua tahun terakhir, kinerja saham anak-anak usaha BUMN yang melantai di bursa cenderung menurun. Bahkan, harga saham lebih rendah ketika pertama kali melakukan penawaran saham perdana atau IPO.

Sebaliknya, dikatakan Alfred, kinerja saham anak usaha dari non-BUMN jauh lebih baik. “Kinerja anak BUMN tidak semenarik empat hingga lima tahun yang lalu. Justru anak-anak  usaha non-BUMN itu hasilnya cukup bagus,” kata Alfred saat dihubungi Republika.co.id, Ahad (17/3).

Alfred mengatakan, secara prinsip, anak usaha BUMN lebih memiliki nilai tambah untuk bisa meningkatkan kinerja saham. Sebab, sebagai penyandang status BUMN, ia lebih memiliki daya tawar di mata investor. Namun, yang terjadi justru berbalik.

Sepanjang 2018, Alfred mencatat, hampir 80 persen harga saham dari anak usaha non-BUMN naik signifikan. Padahal, jika dilihat dari fundamental anak usaha BUMN, juga tak kalah baik bahkan selalu mencatatkan kinerja keuangan yang positif.

“Ketika saham itu tidak menarik dibeli, bukan berati ada penurunan fundamental. Persepsi inilah yang harus dibuka dan diluruskan, bahwa fundamental anak usaha BUMN jauh lebih aman,” ucapnya menambahkan.

Menurut Alfred, dilihat dari sektor perusahaan, kinerja anak-anak usaha dari BUMN karya yang bergerak di bidang konstruksi dan infrastruktur bangunan dalam kondisi yang menurun. Meskipun, secara kinerja mencatatkan hasil positif.

Kondisi serupa juga terjadi untuk anak usaha di luar BUMN karya. Alfred mencontohkan seperti anak usaha dari PT Pelabuhan Indonesia (Pelindo) II, yakni Indonesia Kendaraan Terminal (IPCC) dan Jasa Armada Indonesia (IPCM). Kedua emiten itu, dilihat dari sisi bisnis sangat baik, tapi memiliki kinerja saham yang melemah.

“Jadi bisa ditelaah bahwa sedang ada krisis kepercayaan dari pasar terhadap anak usaha BUMN. Jadi, seharusnya ada upaya untuk membuat pasar agar percaya terhadap anak usaha BUMN,” ujar dia.

Selain itu, induk BUMN sebagai pemegang saham juga harus ikut andil dalam meyakinkan masyarakat bahwa anak usahanya memiliki prospek yang baik. Hal itu untuk mendorong masyarakat agar mau menjadi pemegang saham sekaligus mendapatkan hasil dari membeli saham tersebut.

Ia menjelaskan, manfaat bagi anak usaha BUMN yang melantai di bursa tentu akan mendapatkan pendanaan yang lebih luas. Dengan begitu, beban induk BUMN akan berkurang. Perusahaan yang sudah tercatat di bursa saham juga akan memiliki ruang gerak yang makin besar. Namun, disertai dengan transparasi dan tata kelola perusahaan yang optimal.

Namun, sebelum melantai di bursa saham, Alfred mengatakan, bisnis yang dikembangkan harus sudah memiliki laba yang konsisten. Inti bisnis juga telah ditemukan secara pasti sehingga ada keberlanjutan usaha yang memberikan profit. “Nah, yang seperti itulah yang layak untuk masuk ke bursa,” ujar dia. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement