Ahad 24 Mar 2019 05:31 WIB

Pilpres dan Kisah Surat Suara di Haugesund, Norwegia

Pilpres dan surat suara ternyata menguras emosi WNI yang menetap di Norwegia.

Red: Muhammad Subarkah
Amplop surat suara ke WNI yang ada di Norwegia.
Foto: Savitry 'Icha' Khariunnisa
Amplop surat suara ke WNI yang ada di Norwegia.

Oleh: Savitry 'Icha' Khariunnisa, WNI yang tinggal di Norwegia

Buat calon pemilih di Indonesia, jangan kaget dan jangan heran, ya. Kami para pemilih di luar negeri udah duluan dapat Surat Suara sejak seminggu lalu. Ini bukan bentuk kecurangan atau curi start. Tapi peraturan dari KPU memang demikian. Para pemilih luar negeri memang mendapat kemudahan untuk melakukan pencoblosan di rumah masing-masing.

Pertimbangannya adalah penyebaran WNI di tiap negara yang tidak semuanya mampu untuk melakukan pencoblosan langsung di TPS yang hanya terdapat di KBRI di ibukota negara (atau di kota yang cukup besar dan WNI-nya sangat banyak, akan ada Konsulat Jenderal Republik Indonesia / KJRI). 
Sebagai contoh, kami yang tinggal di Haugesund. Jarak ke Oslo seperti jarak Surabaya - Jakarta, yang kalau ditempuh dengan pesawat akan memakan waktu sekitar 50 menit. Tiket pesawat tentu sangat mahal (apalah yang murah di Norwegia ini, hiks).

Bayangkan juga misalnya WNI di Islandia. Negara tetangga itu tidak punya KBRI. Mereka bergabung dengan KBRI Oslo. Akan sangat memberatkan sekali kalau mereka harus ke luar negeri untuk mencoblos?

Alasan lain tentu adalah jumlah SDM petugas Pemilu di tiap negara yang berbeda. 
Untuk tiap TPS luar negeri, akan ada minimal dua WNI yang bertugas sebagai pengawas TPS. Sejak setahun lalu pihak KBRI Oslo sudah berkirim e-mail ke semua WNI di Norwegia yang berminat jadi pengawas TPS. Biasanya para pengawas ini adalah WNI di Oslo (yang bukan staff KBRI).

Pemilihan melalui pos ini juga untuk menyiasati proses penghitungan suara yang sudah harus selesai pada 17 April 2019. Maka kami yang memilih via pos, sudah harus mengirimkan surat suara sebelum itu. Sementara pencoblosan di TPS KBRI akan diselenggarakan tanggal 14 April. Juga duluan dibandingkan di tanah air. Alasannya juga sama. Agar proses perhitungan suara betul-betul tuntas pada 17 April. Sehingga bisa segera diketahui hasilnya di Indonesia.

Februari 2019 pihak KBRI berkirim e-mail ke semua WNI untuk memastikan alamat kami. Kami diminta menyatakan akan memilih langsung di TPS atau via pos. Dan mulai pertengahan Maret kemarin Surat-surat Suara mulai dikirim via pos secara berkala. Alhamdulillah saya dan suami sudah terima. Untuk Pemilu tahun ini pemilih di seluruh Norwegia berjumlah 836 orang.

photo
Isi surat suara Pilpres yang dikirimkan ke WNI yang ada di Norwegia. (foto Savitry 'Icha' Khairunnisa).

                  ***

Dan, memang belum pernah rasanya saya menyambut surat suara dengan rasa antusiasme sebesar ini. Lima tahun lalu saya dan suami terpaksa melewatkan hak memilih karena satu dan lain hal. 
Dua Pemilu sebelumnya saya golput. Maklum waktu itu belum terlalu melek politik.

Lagian buat apa juga emak-emak mikirin politik, kan? Milih atau nggak milih, toh Presiden akan tetap terpilih. Suka atau tidak suka, kita pasti punya Presiden baru, yang nggak akan ngaruh ke kehidupan sehari-hari. Rasanya saya nggak sendiri yang berpendapat demikian. 
Itu dulu. 
Dan itu adalah pandangan yang salah, Ferguso.

Memilih memang hak, bukan kewajiban. Kalaupun nggak ikut memilih, kita nggak akan kena sanksi. Yang nggak boleh itu, kita memilih sembari mengaku sebagai orang lain atau memberi suara lebih dari satu kali. Itu namanya kriminal dan bisa dipidana.

Ada juga teman yang secara terbuka menyatakan dirinya golput. Alasannya adalah, dengan tidak memilih siapapun, akan lebih mudah untuk taat pada pemimpin.

Nah, apa iya klaim menjadi golput tersebut masuk akal sehat?
 Malah menurut saya itu pandangan yang dangkal. 
Apakah bagi kita yang memilih calon A, lalu kemudian yang menang adalah calon B, kemudian kita akan memberontak? Akan tidak patuh pada pemimpin? Tentu tidak, Marimar.

Siapapun yang terpilih jadi pemimpin nanti, wajib kita taati. Kecuali kalau pemimpin itu terbukti zalim dan memerintahkan kita untuk berbuat sesuatu yang bertentangan dengan keimanan kita. 
Bila pemimpin itu amanah, meski bukan pilihan kita, maka sebagai warga negara kita wajib taat. Tetap bayar pajak dan memenuhi kewajiban sebagai warga negara.
 Kalaupun ada yang kita tidak setujui, ada pilihan menjadi pihak oposisi, yang dibolehkan oleh Undang-undang.

Jadi, dari kota kecil bernama Haugesund di Norwegia, saya mengimbau teman-teman untuk ikut menggunakan hak pilihnya. Janganlah Golput! 
Nggak mau kan, potensi suara kita diambil oleh orang lain? Bukan saja oleh sesama WNI, tapi juga para WNA yang terbukti ikutan masuk DPT?
 Masak kalian kalah dengan kami-kami yang jauh?

Kami semua semangat memilih. Kalian yang berada di tanah air juga harus semangat.

Pilih sesuai hati nurani. Pilih yang terbaik di antara yang baik. 
Pemilih berdaulat negara kuat. Begitu seruan KPU.
Menentukan pilihan adalah salah satu bentuk ikhtiar kita untuk menciptakan Indonesia yang lebih maju dan berdaulat.

Kami memilih duluan, ya...
Bismillaahirrohmanirrohiim. Tetap banyak berdoa, semoga pilihan kita menang.

Semoga Indonesia akan mendapatkan pemimpin baru yang memiliki karakter kepemimpinan yang kuat, tegas, berpengetahuan luas, cerdas, sepenuhnya mengabdi untuk bangsa dan negara, serta bisa menyatukan seluruh rakyatnya.

Aamiin yaa Robbal alaamiin...

photo
Surat suara pemilihan anggota legislatif yang dikirikam ke WNI di Norwegia. ((foto Savitry 'Icha' Khairunnisa).

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement