Jumat 22 Mar 2019 21:12 WIB

'Peran perempuan dalam Jaringan Terorisme Bergeser'

Kini perempuan berada di garda terdepandengan menjadi martir dan pengantin bom.

Red: Fernan Rahadi
terorisme
Foto: cicak.or.id
terorisme

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Akhir-akhir ini kasus terorisme yang terjadi di Indonesia banyak melibatkan kaum perempuan. Kasus bom bunuh diri Surabaya, bom Sibolga, bom panci Bekasi, rencana penyerangan Mako Brimob, dan terakhir penangkapan perempuan terduga teroris di Klaten, menjadi bukti, kaum perempuan telah aktif dalam gerakan kelompok radikal. 

Fakta itu sangat miris mengingat perempuan seharusnya bisa menjadi seorang ibu yang bisa melindungi keluarga dan ibu pertiwi yang melindungi bangsanya.

Komisioner Komnas Perempuan Siti Khariroh, MA mengakui dalam kurun 10 tahun terakhir, peran perempuan dalam jaringan terorisme mengalami pergeseran. Kalau dulu perempuan lebih banyak berkiprah sebagai pendukung di balik layar seperti peran mendidik anak menjadi teroris baru dan menyembunyikan suami mereka, serta peralatan terorisme, kini perempuan berada di garda terdepan aksi terorisme dengan menjadi martir dan pengantin bom.

“Saya melihat ada proses penggunaan perempuan untuk tujuan terorisme sehingga perempuan kemudian menjadi pelaku. Karena kalau kita lihat profil perempuan yang terjerat terorisme, terutama yang sudah sudah dipidana, kalau kita lihat siklus kehidupannya rata-rata mereka adalah korban, meski faktanya pelaku,” ujar Siti Khariroh di Jakarta, Jumat (22/3).

Menurut Khariroh, ada hal-hal yang menyebabkan perempuan kemudian digunakan sebagai garda terdepan aksi terorisme. Seperti kasus bom panci di Bekasi dengan pelaku seorang perempuan bernama Dian Yulia. Sejak awal dinikahi oleh suami terorisnya melalui nikah daring, ia terus mendapatkan doktrin ideologi radikal, termasuk janji-janji masuk surga, termasuk relasi yang tidak seimbang antara laki-laki dan perempuan di kelompok jaringan terorisme yang mengharapkan kepatutan mutlak istri terhadap suami, seolah-olah suami adalah wakil Tuhan.

Contoh lainnya, lanjut dia, Umi Delima, istri Santoso (Mujahidin Indonesia Timur/MIT). Ia sebenarnya hanya korban karena sejak dinikahi usia 16 tahun ia terus dicekoki ideologi radikal. Kemudian karena dia memakai cadar, ia tidak diterima di masyarakat sekitar, sehingga ia pun menyusul suaminya ke gunung

“Dari situ perempuan-perempuan itu mengubah konsep diri mereka, kemudian terjebak, dan ditambah doktrin dari suami dan kelompoknya. Intinya, mesi berada di garda terdepan, perempuan sebenarnya adalah korban dari struktur di jaringan terorisme, yang memang ingin menggunakan perempuan untuk tujuan ideologis, politisdari terorisme itu sendiri,” ungkap Khariroh.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement