Selasa 02 Apr 2019 13:46 WIB

Sekjen Kemenag: Semua Keputusan Bergantung pada Imam

Hierarki Kemenag yang dijabarkan dalam Perpres No. 7 tahun 2015.

Rep: Rahma Sulistya/ Red: Agus Yulianto
Sekjen Kemenag sekaligus Ketua Panitia Seleksi Jabatan Pimpinan Tinggi Kementerian Agama Nur Kholis Setiawan seusai menjalani pemeriksaan di Gedung KPK, Jakarta, Rabu (27/3).
Foto: Republika/Prayogi
Sekjen Kemenag sekaligus Ketua Panitia Seleksi Jabatan Pimpinan Tinggi Kementerian Agama Nur Kholis Setiawan seusai menjalani pemeriksaan di Gedung KPK, Jakarta, Rabu (27/3).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kementerian Agama (Kemenag) RI selama menjalankan pemerintahan mengacu pada Perpres No. 7 tahun 2015 yang menjelaskan hierarki mereka. Dalam setiap keputusan yang diambil oleh Kemenag, semua bergantung pada pimpinan bidang tertentu yang mereka sebut sebagai ‘imam’.

“Melihat persoalan itu lebih kepada dari hulu, tidak semata-mata pada hilir saja. Ketika ada anggaran fungsi agama, atau penyelenggaraan ibadah haji, atau hari-hari besar keagamaan, dan seterusnya, tentu kita akan melihat seperti apa jobdesk yang sudah dijalankan oleh masing-masing imam,” kata Sekjen Kemenag M Nur Cholis dalam acara Rakorjakwas di Discovery Hotel Ancol, Jakarta Utara, Senin (1/4).

Hierarki Kemenag yang dijabarkan dalam Perpres No. 7 tahun 2015 menjelaskan lima unsur pimpinan utama Kemenag yang menjadi imam. Pertama adalah pemimpin, dalam hal ini yaitu Menteri Agama. Kedua pembantu pemimpin, adalah Sekjen Kemenag. Ketiga pelaksana, yakni para dirjen. Keempat pengawas, yakni para irjen. Dan kelima adalah pendukung, yakni para kepala badan.

“Jadi kalau bicara kediklatan, tentu kepalanya adalah Kepala Litbang dan Diklat. Bicara manasik haji, tentu imamnya Dirjen PHU. Bicara hari-hari keagamaan atau bantuan terhadap rumah-rumah ibadah, tentu yang menjadi acuan adalah Dirjen Binmas. Jadi inilah pola atau norma umum yang harus dipegangi, dan kepala wilayah wajib menjadi makmum,” papar Nur Cholis.

Meskipun sejumlah instansi menyebut beberapa hal terkait Kemenag sudah dalam keadaan baik dan wajar, tetap tidak boleh dianggap sebagai kepuasan. Misalnya terkait dengan laporan keuangan, dimana yang menjadi temuan BPK bahwa dua tahun berturut-turut pada 2016 dan 2017 Kemenag disebut wajar, ini belum bisa diartikan apa yang mereka lakukan sudah bejalan sempurna.

“Tentu masih ada kekurangan dan ketimpangan, dan harus dicari mengapa masih ada seperti itu. Pendekatan yang sudah dipakai dalam kebijakan pengawasan, melihat pada regulasi atau melihat kepada apa saja yang menjadi acuan dari pimpinan satker, dan juga yang dijadikan acuan pelaksana di unit-unit kerja,” kata Nur Cholis.

Jika ada ketidaksesuaian antara petunjuk teknis dan realita di lapangan, maka Kemenag akan melihat kembali apakah yang melaksanakan dalam hal ini para pimpinan, sudah paham betul, atau apakah ada unsur kesengajaan. Sehingga semua akan kembali dilihat pada apa yang sudah dikuasai dan dikerjakan oleh imam dan para kepala di daerah.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement