Ahad 28 Apr 2019 05:02 WIB

Pemilu 1955 dan 2019: Kisah Kucing Milik Paman Mao

Pemilu 1955 dan Pemilu 2019 ternyata sama-sama banyak masalah.

Red: Muhammad Subarkah
Bung Hatta dan nyonya menunggu giliran nyoblos pada pemilu 1955.
Foto: Kompen
Bung Hatta dan nyonya menunggu giliran nyoblos pada pemilu 1955.

Oleh: Muhammad Subarkah, Jurnalis Republika

Pemilu 1955 banyak diajukan sebagai sebuah pemilu yang ideal bagi Indonesia sebagai bangsa yang baru merdeka. Bahkan media barat kala itu menyanjung sebagai pemilu yang berlangsung sangat baik ditengah situasi masyarakat yang kala itu kebanyakan masih buta huruf latin.

Dan harus diakui memang, bila dibandingkan dengan Pemilu 2019 memang cerita pemilu tersebut tak terlalu tragis. Setidaknya tragedi petugas pemilu yang menjadi korban tidak terlalu banyak. Tak ada cerita kepiluan masif seperti yang dikatakan Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU), Viryan. Dia mengungkapkan hingga Jumat (26/4) pukul 12.00 WIB, sudah ada 1.901 KPPS yang tertimpa musibah. Rinciannya dalam pemilu kali ini terdata 230 KPPS yang wafat dan 1.671 KPPS yang jatuh sakit.

Dalam soal ini memang perlu berbagai pihak —terutama elit penyelenggara — untuk merenungkan mengapa kepedihan yang meluas bisa terjadi. Pertanyaanya apakah ini akan menjadi soal serius atau menjadi angin lalu. Apalagi terlanjur sudah ada jargon dari Mao Ze Dong yang mengatakan dalam politik kematian bila hanya satu orang itu tragedi, tapi kalau sudah lebih dari itu hanyalah deretan angka statistik!

Pertarungan Pemilu 2019 memang sangat melelahkan. Dan sebenarnya bukan hanya terjadi dalam enam sampai delapan bulan terakhir, tapi semenjak UU Pemilu 2019 dipersiapkan. Di sana pun sudah teraba akan seperti apa permainan politik dalam pilpres kali ini. Perseteruan parlementary treshold yang 4 persen dan presiden treshold yang 20 persen yang diwarnai aksi ‘walk Out’ di DPR hingga dibawa ke meja Mahkamah Konsitusi menjadi buktinya.

Tapi semua itu sudah seperti nasib ‘nasi yang sudah menjadi bubur’. Dan bercermin dari itu semua maka kiranya semua melihat kaca benggala mengenai apa saja dan berbagai soal yang terjadi di Pemilu 1995 itu. Benarkan pemilu 1955 dan juga pemilu ini sudah begitu baik dan bermata tulus layaknya seperti mata seorang ibu?

Jawabnya, ternyata tidak. Pemilu 1955 malah terasa lebih gawat dari pemilu yang sekarang. Ini karena kala itu sudah muncul gangguan keamanan akibat negara yang baru saja usai dari gejolak revolusi kemerdekaan. Keberadaan DII/TII menjadi salah satu ancaman nyata yang bisa mengganggu pelaksanaan pemilu 1955 seperti untuk melaksanakan pemungutan suara di Jawa Barat, Sumatra, dan Sulawesi. Bahkan ancaman tersebut tak hanya muncul pada hari ‘H’, tapi semenjak masa persiapan pemilu.

Situasi geting itu tertuang ketika membaca kembali Inventaris Arsip Sekretariat Negara Kabinet Perdana Menteri tahun 1950-1959" (Nomor Arsip 1916) koleksi ANRI. Di sana tampak daerah-daerah yang relatif aman dan tidak mendapat gangguan keamanan selama distribusi logistik dan pendataan pemilih. Hal ini  antara lain Jakarta Raya, Jawa Barat (meskipun terdapat gangguan kemananan, terutama dari DI/TII, namun skalanya kecil dibandingkan dengan persoalan keamanan di luar Jawa), Jawa Tengah, Jawa Timur, dan sebagian Nusa Tenggara.

Hebatnya, berbagai daerah tersebut mampu menyelesaikan proses pendataan pemilih satu bulan kemudian, pada akhir Juni 1954 atau sebelumnya. Ini berbeda dengan daerah yang kala itu tengah bergejolak seperti Aceh, Sumatra Utara, Sulawesi Selatan, dan beberapa kecamatan di Tasikmalaya, Jawa Barat. Di berbaga daerah ini proses pendaftaran pemilihnya berlangsung lebih lama.

Tak cukup itu, ada juga persoaan lain yang tak kalah pelik. Yakni, adanya soal trasnportasi di berbagai wilayah yang terpencil seperti di Kalimantan. Situasi ini makin terkendala karena penduduk di daerah terpencil itu rata-rata buta huruf.

Sama halnya sekarang, masa itu pun pemilu sebenarnya berlangsung sangat panas. Dan bila dibandingkan sekarang dengan masalah yang menonjol yakni meninggal dan sakitnya petugas KPPS, maka kala itu lebih sadis karena muncul muncul kasus aksi saling culik antar pendukung.

Kisah tragis tersebut itu sempat terjadi di Yogyakarta. Ada seorang anggota Dewan Pimpinan Masyumi Daerah Istimewa Yogyakarta, Kiai Haji Mansjur, dengan dibantu Wardani warga Sentolo, Haji Moh Dimjati warga Muntilan, Notosoedarmo (lurah Desa Wates), Hadisajadi (Pembantu Letnan Staf Reg. I Bat. XIII), dan Barodji (pegawai STP Negeri Wates) dilaporkan akan melakukan penculikan dan penggarongan terhadap tokoh terkemuka yang menyokong pemerintah (PNI, PKI, dan lainnya) di wilayah tersebut.

Aksi mereka itu mereka rencanakan pada tanggal 12 atau 13 Januari 1954 pada pukul 01.00 WIB. Namun maksud jahat itu gagal dilakukan karena perencanaan aksi telah bocor dan Kiai Haji Mansyur telah ditangkap polisi. Kasus ini termuat dalam Surat Kejaksaan Agung kepada Mahkamah Agung Indonesia No. PLK C.2/625/3/3 yang tercantum dalam "Inventaris Arsip Sekretariat Negara Kabinet Perdana Menteri tahun 1950-1959" (Nomor Arsip 1108).

Dan tak hanya di Yogyakarta, kala itu selama masa persiapan pemilu terdapat beberapa panitia badan penyelenggara pemilu di daerah yang diculik dan gugur ketika menjalankan tugas. Acting Gubernur Sulawesi, Donggeng Dg Ngasa, melaporkan kepada Perdana Menteri dan Menteri Dalam Negeri pada 5 Mei 1956 tentang adanya penculikan terhadap anggota panitia penyelenggara pemilu di wilayahnya. Mereka yang hilang adalah Andi Djije (Anggota PPP Pinrang) yang diculik di sekitar Pinrang pada 20 Agustus 1955 di rumahnya dan dibawa masuk ke hutan dan Muh Junus (Anggota PPS Pinrang) yang hilang sejak 7 Juli 1955 di sekitar Pinrang.

Dari keterangan yang ada di arsip tersebut korban dipaksa masuk hutan oleh gerombolan-gerombolan dengan disertai ancaman, keduanya belum kembali hingga laporan disampaikan. Laporan tentang peristiwa itu tercatat dalam "Inventaris Arsip Sekretariat Negara Kabinet Perdana Menteri tahun 1950-1959" (Nomor Arsip 1133).

Hal yang sama juga terjadi di Brebes, Jawa Tengah. Dari wilayah itu dilaporkan ada 10 orang panitia penyelenggara pemilu gugur dalam menjalankan tugas pemilu. Kesepuluh orang tersebut adalah Achmad Sef (Wakil Ketua Panitia Pendaftaran Pemilih Kabupaten Brebes), Abdoeldjamil (Anggota Panitia Pemungutan Suara Kecamatan Sirampog), Ranawidjaja (Wakil Ketua PPP Desa Tanggungsari, Kecamatan Ketanggungan), Machmoed (Anggota PPP Desa Sindangjaya, Kecamatan Tanjung), Djoemarta (Wakil Ketua PPP Desa Tambakserang, Kecamatan Bantarkawung), Taklim (Lurah/Ketua PPP Desa Karangjokeng, Kecamatan Tanjung), Karnadi (Lurah/Ketua PPP Desa Pamedaran, Kecamatan Ketanggungan), Karsad (Carik selaku anggota PPP Desa Pamedaran, Kecamatan Ketanggungan), Soemar (Lurah/Ketua PPP Desa Sutamaja, Kecamatan Tanjung), Soemaid (Lurah/Ketua PPP Desa Mlajang, Kecamatan Sirampog). Diakhir arsip diterangkan, bila para korban ini meninggal akibat diculik kemudian dibunuh sekelompok gerombolan pengacau.

Alhasil, bila kini masih banyak masalah dalam Pemilu 2019 di mana ratusan petugas yang meninggal dan lebih dari seribu yang sakit pertanyaannya apakah demokrasi kita maju atau muncur? Jangan-jangan malah ada sekelompok elite yang tega memang membuat rumit. Mereka gunakan falsafah Mao Ze Dong (Paman Mao) yang lain: Tak peduli tikus hitam atau putih, yang penting adalah kucing yang bisa menangkap tikus.

Pertanyaan terakhirnya: Bagaimana bila kucing yang akan menangkap tikus sudah diberi kalung lonceng kecil di lehernya. Sebab, bila itu terjadi maka semua tikus pun terlebih dahulu akan menyingkir sembunyi sebab tahu kucing hebat tersebut datang?

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement