Mengenal Tradisi Membangunkan Sahur di Dunia Islam (2-Habis)

Red: Hasanul Rizqa

Selasa 14 May 2019 23:14 WIB

Ilustrasi Sahur Foto: Mgrol101 Ilustrasi Sahur

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Menyambung tulisan sebelumnya, dengan perkembangan wilayah Islam, kebutuhan akan penanggung jawab untuk membangunkan sahur pun mendesak. Di Mesir misalnya, Gubernur Mesir, Atabah bin Ishaq pada era pemerintahan Khalifah Dinasti Abbasiyah, al-Munthashir Billah (861-862 M), disebut-sebut sebagai al-mushirati pertama.

Ini karena pada tahun 238 Hijriah, ia merasa terpanggil untuk berkeliling di Kota Kairo (Fustat lama) dan membangunkan penduduk untuk sahur.

Baca Juga

Ia melakukannya dengan berjalan kaki. Tempat permulaannya berada di Kota Militer, dan berakhir di Masjid Amar bin Ash yang berlokasi di Kairo Lama, Fustat.

Ia meneriakkan ungkapan, “Wahai hamba Allah, sahurlah. Karena sesungguhnya, dalam sahur terdapat berkah.”

Sejak itulah, profesi al-mushirati sangat dihormati. Hal ini lantaran sang gubernur langsung yang mengawali turun tangan.

Yel-yel yang diteriakkan pun kian bervariatif. Apalagi, di masa Abbasiyah yang terkenal dengan kemajuan di bidang syair.

Sebagian liriknya telah menggunakan bahasa sastrawi dengan mutu tinggi. Misalnya, “Ya niyyaman quman, quman lis sahuri quman (‘wahai orang yang lelap tidur, bangunlah untuk sahur’).”

 

Al-Mushirati, Dipelopori Pejabat

Tokoh al-mushirati yang paling tersohor dengan penggunaan kalimat itu ialah Ibnu Nuqthah di Baghdad. Khalifah an-Nashir Billah mengagumi kefasihannya dan mengganjarnya dengan upah. Jumlahnya berlipat ganda melebihi upah yang diterima mendiang ayah Ibn Nuqthah.

Tak hanya dari kalangan Adam. Profesi ini juga digeluti oleh kaum Hawa. Ketika Dinasti Thulun menguasai Mesir (254H-292H/868M-967M), pemerintah membuka kesempatan bagi para perempuan untuk terlibat juga dalam profesi ini.

Hanya saja ruang geraknya masih terbatas. Mereka melakukannya lewat jendela rumah. Inipun dengan syarat bahwa perempuan tersebut haruslah bersuara merdu dan figur yang sudah dikenal di kampung.

Pada abad ke-19, nama Alis Ihsan didaulat sebagai perempuan pertama yang menjalankan profesi al-mushirati. Kegiatan ini ia lakukan sepeninggal suaminya. Ada dua nama lagi pada abad ke-21, yaitu Ummu Jalilah dan Ummu Sahr.

Nama yang pertama, mengambil profesi ini setelah ditinggal mati suami. Sementara, ia harus menghidupi enam orang anak. Adapun sosok yang kedua dikenal sudah menjalani kegiatan ini sejak kecil.

Kini, tradisi ini, kian redup di sebagian wilayah. Kehadiran teknologi sedikit demi sedikit menggeser kebiasaan tersebut. Teknologi dan media telekomunikasi memberikan alternatif yang lebih efesien dan efektif untuk membangunkan sahur. Dan, nasib ‘para pahlawan sahur’ itu pun dipertaruhkan.