Rabu 15 May 2019 17:38 WIB

Mental Menerabas dalam Jual Beli Jabatan

Kasus jual beli jabatan di Kemenag hanya rentetan kasus di lembaga pemerintahan.

Red: Karta Raharja Ucu
Suap (ilustrasi)
Foto: Google
Suap (ilustrasi)

Tahta selalu menggoda. Banyak orang rela melakukan apa saja untuk meraihnya. Ironisnya, mereka yang memiliki wewenang dan kekuasaan untuk menentukan jabatan memanfaatkan proses pengaturan jabatan untuk mengumpulkan harta dan pundi keuntungan pribadi.

Kiai dan juga penyair A. Mustafa Bisri dalam puisinya yang berjudul “Di Negerimu” menulis: “Ini negeri paling aneh/di mana keserakahan dimapankan/kekuasaan dikerucutkan/kemunafikan dibudayakan/telinga-telinga disumbat harta dan martabat/mulut-mulut dibungkam iming-iming dan ancaman.” Dan iming-iming suap misalnya telah berkali-kali merusak misi pembentukan pemerintahan yang bersih.

Di negeri ini, Indonesia, jual beli jabatan telah berlangsung sejak lama. Kasus jual beli jabatan di lingkungan Kementrian Agama yang baru saja terjadi hanya rentetan dari sekian banyak kasus dengan modus relatif sama yang terjadi di lembaga pemerintahan lainnya.

Asal punya kedekatan dengan penentu kebijakan dan punya uang, seseorang bisa melenggang menggenggam tahta yang diimpikannya. Ia tak peduli dengan orang lain yang lebih memiliki hak memanggul amanah itu karena kompetensi dan profesionalitasnya.

Pada kasus jual beli jabatan, harga diri dan kehormatan sesungguhnya telah dipertaruhkan. Bukan hanya harga diri dan kehormatan seseorang, namun juga bangsa ini. Jika jual beli jabatan menjadi budaya, maka orang-orang yang kompeten dan professional tetapi tak punya uang dan tak memiliki kedekatan dengan kekuasaan, akan sulit menduduki jabatan-jabatan strategis yang berkenaan dengan kepentingan masyarakat.

Bagaimana mungkin mengelola lembaga dengan bersih, jika pemegang jabatan di dalamnya melakukan jual beli jabatan. Tangan mereka telah kotor sebelum mereka menduduki jabatan. jual beli jabatan di lingkungan Kementrian Agama juga merusak citra lembaga itu yang harusnya menginternalisasikan nilai-nilai religius.

Dugaan keterlibatan tokoh politik dari partai berbasis agama dalam kegiatan jual beli jabatan makin menunjukkan betapa budaya koruptif dan jual beli jabatan, telah menciptakan citra tokoh yang ambigu. Selain itu jual beli jabatan memiliki konstruksi identitas ganda: politisi atau pemimpin yang membalut dirinya dengan atribut agama, tetapi dalam waktu bersamaan sang politisi juga mengiyakan rayuan dan godaan yang dilarang ajaran agama.

Tahta dan harta bagi sebagian orang di negeri ini bisa diraih dengan melalui jalan melanggar hukum sehingga pengadaan kitab, yang di dalamnya mengajarkan kebajikan, dikorupsi.  Saya masih ingat kisah seorang teman bahwa untuk menjadi kepala sekolah di sebuah lembaga pendidikan beridentitas agama, seorang calon juga dimintai sejumlah uang oleh oknum yang berwenang menentukan.

Dalam lembaga pendidikan lebih tinggi seperti perguruan tinggi, kita baru-baru ini disuguhi berita tentang indikasi suap miliaran rupiah dalam pemilihan rektor sebuah perguruan tinggi. Sekolah dan kampus adalah tempat para intelektual yang harusnya kritis pada segala bentuk penyimpangan dan selalu menyuarakan perubahan untuk kebaikan. Jika mereka menggadaikan kehormatan intelektualnya dalam patgulipat dan lingkaran mafia jabatan, maka mereka telah turut meruntuhkan marwah institusi pendidikan sebagai pencetak calon pemimpin dan para aktor kemajuan negeri ini.

Orang-orang yang menginginkan jabatan dengan jalan pintas dan orang-orang yang memanfaatkan proses seleksi jabatan berarti memiliki mental menerabas. Mereka tak menjunjung tinggi proses yang transparan, objektif dan berdasarkan kualitas atau mutu.

Koenjaraningrat menggambarkan mental menerabas berhubungan dengan nafsu mencapai tujuan secepat-cepatnya dengan menegasikan proses. Orang-orang bermental ini menginginkan jalan yang gampang. Mental menerabas yang terus dipupuk dan dibudayakan dari waktu ke waktu akan menjadi kanker yang menggegoti tubuh bangsa ini.

Jabatan yang diraih seseorang melalui pesta demokrasi, seperti kepala daerah dan anggota legislatif, yang dikotori oleh jual beli suara telah berpotensi menegasikan proses pemilihan yang mengedepankan kualitas calon pemangku jabatan. Siapa yang punya banyak uang dia yang berkesempatan melenggang.

Sebuah judul buku terkait dengan pemilu di Indonesia ditulis oleh Edward Aspinall dan Ward Berenschot dengan judul yang terkesan mengkritik yaitu “Democracy  For Sale: Elections, Clientilism and The State in Indonesia”. Gambar sampul depan buku ini adalah sebuah kotak suara pemilu yang terkunci dan di bagian lubang atasnya tampak uang seratus ribu yang hendak dimasukkan. Sementara latar warna merah putih di belakang kotak dan uang itu bisa dimaknai sebagai simbol yang berhubungan dengan negara Indonesia. Ilustrasi tersebut menggambarkan praktik politik uang dalam kontestasi politik di Indonesia.

Dalam informasi buku tersebut yang ditampilkan dalam website KITLV menunjukkan bahwa bagian isi buku terkait dengan fenomena bahwa para politisi menggapai kedudukan, jabatan atau kekuasaannya dengan menyalurkan berbagai proyek skala kecil, uang tunai, materi atau barang lainnya kepada pemilik suara atau kelompok masyarakat. Para politisi itu mendapatkan dana yang mereka gunakan untuk menyelenggarakan kampanye melalui kontrak perdagangan, lisensi dan bantuan lainnya dengan pengusaha; dan mereka terlibat dalam kontestasi konstan satu sama lain dan dengan birokrat untuk memiliki kontrol atas sumber daya negara.

Demokrasi selama ini dipercaya banyak orang sebagai sistem yang akan menempatkan rakyat sebagai pemilik kedaulatan tertinggi. Tapi bagaimana jika demokrasi telah diperjualbelikan? Tentu nilai-nilai demokrasi akan terdistorsi dan tercederai.

Kita coba bayangkan seorang pejabat yang meraih jabatannya dengan jalan pintas, dengan membeli jabatan itu kemudian dia berpidato atau memberikan arahan-arahan tentang kebaikan pada para bawahannya dan rakyat. Betapa lucu dan menggelikan seorang pejabat tampil di podium dengan sekian ekspresi dan ujaran seakan dia membela rakyat, namun di balik penampakannya yang seakan terhormat, tersimpan jejak kelam penuh muslihat demi tujuan menjabat. Namun, saya tetap percaya di negeri ini masih banyak orang baik dalam panggung pemerintahan dan politik, yang tak mau terseret godaan atau iming-iming uang untuk pengaturan sebuah jabatan.

TENTANG PENULIS

YUSRI FAJAR, Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Brawijaya

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement