Ahad 19 May 2019 02:57 WIB

Kemana ''Perginya'' Buku Kegiatan Ramadhan?

Buku jegiatan ramadhan diharapkan bisa meminimalisir kegiatan tak terarah.

Red: Joko Sadewo
Gita Amanda
Foto: Republika/Kurnia Fakhrini
Gita Amanda

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Gita Amanda*

Memasuki pertengahan Ramadhan berita kurang sedap datang dari kalangan remaja dan pemuda di banyak wilayah di Negeri ini. Tingkat tawuran remaja di bulan suci ini malah meningkat.

Ini tentu jadi pertanyaan, ada apa dengan anak-anak muda Indonesia? Mengapa bulan penuh berkah ini tak dimanfaatkan dengan baik untuk beribadah. Malah mereka berbuat hal-hal yang meresahkan warga. Anak-anak usia belasan itu tak segan menggunakan senjata tajam untuk bertarung dengan sesamanya.

Tapi nyatanya, kegiatan tawuran bahkan saat ini sudah dilakukan mulai usia lebih dini lagi. Pernah lihat tidak anak-anak usia sekolah dasar menenteng-nenteng sarung yang diujungnya sudah diikat?

Mereka umumnya izin pada orang tua untuk Shalat Tarawih di masjid. Sayangnya, bukan shalat mereka malah bergerombol di sekitar masjid. Saat orang lain memulai tarawih, anak-anak ini pun memulai pula aksi mereka. Mulai dari saling ejek hingga berujung saling pukul dengan sarung.

Yang menjadi pertanyaan, apa mereka tidak lagi punya buku kegiatan Ramadhan yang harus mereka isi selama Ramadhan? Ternyata jawabannya TIDAK.

Buat anak-anak generasi 90-an seperti saya, saat seusia mereka tentu kita tidak asing dengan Buku Kegiatan Ramadhan. Buku berbentuk lembar kerja siswa ini, biasanya sudah bertengger cantik di atas meja guru agama saat menjelang Ramadhan. Siap dibagikan ke siswa-siswi.

Setiap siswa-siswi diwajibkan mengisi berbagai aktivitas dan kegiatan Ramadhan dalam buku tersebut. Seperti shalat lima waktu, puasa, membaca alquran dan yang paling membekas diingatan adalah mengisi intisari ceramah tarawih. Tak ketinggalan kami harus meminta tanda tangan imam maupun penceramah usai tarawih, untuk membuktikan kejujuran kami mengisi buku kegiatan itu.

Rasanya setiap anak SD zaman 90-an hampir semua diharuskan mengisi Buku Kegiatan Ramadhan tersebut. Saya masih ingat betul Menteri Agama kala itu masih Almarhum Pak Tarmizi Taher sementara Menteri Pendidikannya, Wardiman Djojonegoro.

Saat SD dulu, berat rasanya ketika menerima buku itu. Tapi saat ini saya sadari betul manfaatnya. Apalagi kalau melihat anak-anak sekolah dasar seusia saya dulu malah berkeliaran tak karuan saat tarawih. Sebab secara tak langsung buku itu menjadi pedoman, saat berkegiatan utamanya kala tarawih. Hal ini yang tak dimiliki anak-anak zaman sekarang.

Mereka yang tak memiliki pedoman itu pun, berakhir pada kegiatan tidak menentu seperti "tawuran sarung" atau perang petasan. Ditambah lagi, kini banyak jamaah dewasa yang enggan jika banyak anak-anak di masjid berisik. Ujung-ujungnya, anak-anak ini pun diusir keluar masjid karena dianggap mengganggu. Hasilnya? Lagi-lagi mereka bergerombol tak jelas di luaran.

Mungkin, saat ini Kementerian Pendidikan bisa bersinergi dengan Kementerian Agama untuk kembali mengeluarkan dan mewajibkan Buku Kegiatan Ramadhan bagi anak-anak sekolah. Tujuannya? Tentu agar anak-anak memiliki pedoman kegiatan saat Ramadhan tiba. Diharapkan ini bisa meminimalisir kegiatan tak terarah yang mereka lakukan.

Siapa tahu dengan itu anak-anak akan kembali belajar mengenai kedisiplinan, belajar beribadah sejak dini dan belajar tentang kejujuran. Semoga bisa membuat kegiatan anak-anak ini lebih terarah dan positif selama Ramadhan.

Untuk para orang tua, atau jamaah yang lebih dewasa hendaknya juga bisa menerima keberadaan anak-anak di tengah masjid. Alih-alih mengusir atau memarahi mereka saat mereka berisik ketika tarawih, para jamaah dewasa bisa membantu melakukan pembinaan. Memang tak mudah, tapi pembinaan sejak dini lebih baik dari pada terlambat dan anak-anak ini semakin liar.

*) Penulis adalah redaktur Republika.co.id

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement