Jumat 24 May 2019 10:52 WIB

KPAI: Sekolah Akui tak Luluskan AI Karena Tiga Hal

Pelanggaran itu antara lain AI kerap pakai jaket, terlambat, dan kritisi sekolah

Rep: Umi Nur Fadhilah/ Red: Esthi Maharani
KPAI
Foto: dok KPAI
KPAI

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menyebut pihak SMAN 1 Sembalun, Kabupaten Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat mengakui tak meluluskan AI karena tiga hal. Fakta itu terungkap dalam pertemuan antara KPAI, bersama Pemprov NTB dan Organisasi Perangkat Daerah (OPD), seperti Dinas Pendidikan, P2TP2A, Dinas PPAKB, inspektorat provinsi, serta LPMP NTB yang mewakili Kemendikbud RI pada 23 Mei 2019.

“Pihak sekolah mengakui tidak meluluskan AI karena tiga pelanggaran yang dilakukan,” kata Komisioner bidang Pendidikan KPAI Retno Listyarti dalam keterangan tertulisnya, Jumat (24/5).

Dia menjabarkan, pelanggaran tersebut yakni, pertama AI kerap memakai jaket di kelas, saat musim hujan antara Januari-Maret 2019. Kedua, AI kerap terlambat tiba di sekolah. Padahal, banyak juga siswa yang terlambat, karena pada Februari-Maret ada perbaikan dan pelebaran jalan pascalongsor dan gempa. Ketiga, AI mengkritisi kebijakan sekolah melalui media sosial pada 16 Januari 2019.

Kemudian, Retno mengatakan KPAI menemukan fakta bahwa pihak sekolah tidak bisa menunjukkan dokumen tertulis yang membuktikan sudah melakukan pembinaan kepada AI atas tiga kesalahan yang dituduhkan tersebut. Selain itu, AI mengaku tak pernah diminta membuat surat pernyataan apa pun selama ini oleh sekolah. Artinya, Retno menjelaskan, AI tidak pernah dibina sebagaimana salah satu tugas dan fungsi sekolah sebagai lembaga pendidikan.

Retno mengatakan, dokumen rapor selama enam semester menunjukan nilai akademik AI bagus. AI mendapat peringakat kelas mulai dari V hingga X. Dokumen rapor juga menunjukkan nilai sikap AI selalu baik, bahkan di atas baik. Pihak sekolah mengakui dasar yang digunakan untuk tidak meluluskan AI adalah Januari hingga Maret 2019.

Dalam pertemuan itu, Dinas Pendidikan NTB mendukung keputusan sekolah. Sementara pihak Kemendikbud, mendukung permintaan KPAI untuk mempertimbangkan lagi keputusan ketidaklulusan AI. Alasannya, tindakan itu berpotensi kuat melanggar hak-hak anak dan demi kepentingan terbaik bagi anak.

“Kesalahan-kesalahan AI bukanlah jenis pelanggaran berat dan bukan tindakan pidana,” ujar dia.

Retno mengingatkan, upaya mengungkapkan pendapat dan mengkritisi kebijakan sekolah, dijamin Konstitusi RI. Selain itu, partisipasi anak juga dijamin UU Perlindungan Anak, bahkan suara anak wajib didengar pihak sekolah.

Karena itu, KPAI merekomendasikan sejumlah hal, pertama, KPAI mendorong pihak sekolah mempertimbangkan kembali keputusan tidak meluluskan AI karena kekritisannya yang dinilai kurang ajar dan membangkang pada aturan yang dibuat sepihak oleh kepala sekolah.

Kedua, KPAI mendorong pihak Inspektorat Provinsi melakukan investigasi dan evaluasi pada kepala sekolah atas keputusan yang tidak meluluskan AI, sebab hal itu memicu polemik hingga tingkat nasional. KPAI juga mendorong pembinaan terhadap atasan kepala sekolah.

Ketiga, KPAI mendorong Irjen Kemendikbud berkoordinasi dengan Dinas Pendidikan NTB dan Inspektorat Provinsi NTB untuk menindaklanjuti kasus itu, agar tidak terulang lagi.

“Kasus ini harus diupayakan menjadi pembelajaran semua pihak, agar lembaga pendidikan tidak alergi terhadap kritik peserta didik. Kritik di media sosial terjadi karena ada sumbatan menyampaikan pendapat di lingkungan sekolah,” kata Retno.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement