Senin 03 Jun 2019 11:20 WIB

Bu Ani: Putih untuk Pohon Berkepak Sayap

Bu Ani tidak ingin menjadi rumput. Bu Ani ingin menjadi pohon.

Red: Elba Damhuri
Nasihin Masha
Foto: Republika/Daan
Nasihin Masha

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Nasihin Masha

Saya pasrah, tapi tak menyerah”. Ani Yudhyono

Nuansa putih. Itulah yang dihadirkan keluarga Yudhoyono. Dalam suasana duka, keluarga Presiden ke-6 tersebut tak menghadirkan nuansa hitam. Tapi putih. Putih itu suci, bersih, murni. Hening.

Saya cukup terkejut dengan dress code warna putih tersebut. Susilo Bambang Yudhoyono lekat dengan karakter modern dan juga gemar pada tren mode. Saat ia melayat ke kematian pun ia biasa mengenakan pakaian warna hitam.

Ya, sudah menjadi kelaziman jika berduka maka orang mengenakan pakaian serba hitam. Namun di saat ditinggal istrinya, SBY – begitu ia biasa disapa – justeru mengenakan pakaian serba putih.

Berpeci hitam dan berbaju koko putih, SBY menyalati jenazah istrinya di Singapura. Busana yang sama juga dikenakan oleh Agus Harymurti Yudhoyono (AHY) dan Edhi Baskoro Yudhoyono (Ibas), dua putra mereka.

Hal itu, misalnya, kontras dengan busana serba hitam yang dikenakan Hatta Rajasa, besan SBY, yang menemani mereka. Ah, bisa saja itu kebetulan. Kan memang suasana solat. Saya membatin.

Rupanya gumaman saya salah. Keluarga Yudhoyono konsisten mengenakan pakaian serba putih. Saat di rumah duka, esok harinya di Puri Cikeas, Cibubur, mereka tetap mengenakan baju koko putih dan kopiah hitam.

Demikian pula dengan AHY dan Ibas. Dua menantunya, tentu perempuan – Annisa Pohan dan Aliya Rajasa – mengenakan pakaian serba putih. Dress code serba putih juga dikenakan lagi saat penguburan di TMP Kalibata.

Karena ini acara kenegaraan, SBY, AHY, dan Ibas membalut baju kokonya dengan jas warna hitam. Kopiah tetap melekat di kepala mereka. Sedangkan yang perempuan berpakaian serba putih.

photo
Pemakaman Bu Ani Yudhoyono: Presiden RI keenam Susilo Bambang Yudhoyono (kiri) didampingi menantu Annisa Pohan (kanan) dan Siti Ruby Aliya Rajasa (tengah) menaburkan bunga di makam Ibu Ani Yudhoyono, Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta, Ahad (2/6/19).

Kristiani Herrawati wafat di Singapura pada Sabtu, 1 Juni 2019, pukul 11.50 waktu setempat atau 10.50 WIB. Sejak Februari, Ani Yudhoyono dirawat di National University Hospital (NUH), Singapura, karena mengidap sakit kanker darah yang ganas. Wanita kelahiran 6 Juli 1952 ini meninggal menjelang usinya yang ke-67 tahun pada bulan depan. Selama empat bulan, Ani berjuang keras melawan penyakitnya.

Ani, di masa kecilnya dikenal tomboy. Ia gemar memanjat pohon. Anak ke-3 dari tujuh bersaudara itu memang anak kolong, ayahnya Letjen Sarwo Edhie Wibowo adalah mantan komandan RPKAD (kini Kopassus).

Jika kita mengamati foto-foto Ani di masa muda, aura tomboy itu begitu kentara. Tipikal petarung. Tak heran, dalam menghadapi sakit itu, Ani berjuang keras untuk sembuh. Walau demikian, ia tak takabur.

Dimensi spiritual tetap menyelimutinya. Betulkah? Inilah testimoni SBY tentang pendapat Ani dalam menghadapi sakit tersebut: “Saya pasrah, tapi tak menyerah.” Sebuah kalimat singkat dan padat yang bertanaga namun tetap tawaddu’.

Ani memang perempuan yang tegak. Seperti dicatat dalam biografinya, mengikuti pesan ayahnya, ia tak ingin menjadi rumput. Ia memilih menjadi pohon. Selain diinjak-injak orang, rumput tampak sama jika dilihat dari kejauhan.

Hal itu berbeda dengan pohon. Ia berdiri tegak dan mudah dikenali satu pohon akan berbeda dengan pohon yang lainnya, walau dilihat dari kejauhan.

photo
Mendoakan Bu Ani Yudhoyono: Sejumlah kerabat dekat dan Keluarga almarhumah Bu Ani Yudhoyono berdoa di depan peti jenazah di Cikeas, Bogor, Jawa Barat, Ahad (2/5).

Merujuk pada filosofi Jawa, katanya, “Pohon bisa menjadi tetenger.” Tetenger adalah Bahasa Jawa yang berarti tanda, bisa menjadi patokan dan rujukan. Ani, walau anak ketiga, memang yang menjadi tetenger bagi keluarga Sarwo Edhie Wibowo. Bukankah itu hanya kebetulan saja karena ia menjadi istri SBY yang jenderal dan presiden?

Dalam Bahasa Jawa, istri adalah garwo, yang dalam pepatahnya diartikan sebagai sigaraning nyowo atau belahan jiwa bagi sang suami. Suami tak berarti apa-apa tanpa kehadiran istri. Istri adalah pulung bagi suami.

Sekali lagi, dalam filosofi Jawa, pulung adalah bola api yang melayang di langit. Pulung adalah wahyu, rahmat dari Yang Maha Kuasa. Karena itu tak salah jika ada pepatah “di belakang suami yang hebat ada istri yang luar biasa”.

SBY memaknai istri sebagai “konco wingking” (teman belakang) bukan dalam makna pejoratif, tapi justru dalam makna yang luhur. Hal itu ia perlihatkan dan ia ucapkan secara verbal tentang posisi istrinya. Ani adalah mitra. “Kadang menjadi sekretaris saya,” katanya dalam suatu kesempatan.

Ani Yudhoyono adalah istri yang proaktif. Wanita yang tegak. Pohon, bukan rumput. Namun Alberthiene Endah, wartawan yang kini menjadi penulis biografi, memberi judul buku biografi Ani Yudhoyono dengan Kepak Sayap Putri Prajurit. Ya, ia memang seperti burung yang terbang dengan mengepakkan sayapnya. Aktif bergerak.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement