Senin 01 Jul 2019 23:19 WIB

2018, Perceraian di Balikpapan Capai Dua Ribu Kasus

Mayoritas pasangan di Balikpapan bercerai karena faktor ekonomi.

Red: Reiny Dwinanda
Perceraian (Ilustrasi)
Foto: The Guardian
Perceraian (Ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, BANJARMASIN -- Tingkat perceraian di Banjarmasin, Kalimantan Selatan, mencapai lebih dari dua ribu kasus per tahun. Kasus yang diputus pengadilan agama setempat itu sebagian besar disebabkan persoalan ekonomi.

Kepala Humas Pengadilan Agama Banjarmasin Bahtiar MH mengatakan, pada 2018 tingkat perceraian baik cerai gugat maupun talak yang telah diputus pengadilan mencapai 2.310 kasus. Sedangkan pada 2019 hingga Juni, jumlah mencapai 1.150 kasus perceraian lebih, dengan penyebab perceraian terbanyak karena gugat dan talak.

"Rata-rata setiap bulan, ada sekitar 140-150 kasus perceraian yang masuk ke Pengadilan Agama Banjarmasin," katanya di Banjarmasin, Senin.

Menurut Bahtiar, hampir 90 persen, penyebab perceraian tersebut disebabkan karena masalah ekonomi. Ia menjelaskan, ekonomi berlebih maupun ekonomi yang tidak mencukupi menjadi pemicu bubarnya rumah tangga.

Ketika berkecukupan secara ekonomi, menurut Bahtiar, suami menikah lagi atau melakukan hal-hal negatif, seperti terlibat narkoba, pulang larut malam, atau perselingkuhan. Bahtiar mengungkapkan perilaku tersebut tidak dapat diterima oleh sang istri hingga kemudian mengajukan gugatan cerai ke Pengadilan Agama.

Sementara itu, pada keluarga yang ekonominya lemah, perceraian disebut terjadi karena suami tidak mampu memenuhi nafkah keluarga, sehingga istri memilih cerai.

"Ada juga kasus, gaji suami sekitar Rp 4,5 juta, tapi selingkuh atau poligami, sehingga membuat istri pertama menggugat cerai," katanya.

Suami-istri yang terlibat kasus perceraian usianya berkisar antara 20 sampai 40 tahun ke bawah. Bahtiar menyebut kasus terbanyak dialami oleh pasangan usia 30 tahun ke bawah.

Sedangkan pada kelompok usia 40-50 tahun, prosentase perceraian jauh lebih kecil dibanding usia pernikahan produktif. Bahtiar membantah bila tingginya angka perceraian usia muda tersebut akibat usia pernikahan dini.

"Bukan karena pernikahan dini atau pernikahan di bawah usia 16 tahun, tetapi murni kebanyakan karena persoalan ekonomi," katanya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement