Jumat 05 Jul 2019 08:59 WIB

Pemborosan Pangan

food waste menjadi penyakit yang terus mewabah.

Red: EH Ismail
Kepala Biro Humas dan Informasi Publik Kementerian Pertanian Kuntoro Boga Andri .
Kepala Biro Humas dan Informasi Publik Kementerian Pertanian Kuntoro Boga Andri .

Oleh Kuntoro Boga Andri 

Kepala Biro Humas dan Informasi Publik Kementerian Pertanian

Pemborosan pangan (food waste) tanpa disadari telah menjadi penyakit akut yang terjadi di berbagai belahan dunia. Disebut sebagai penyakit karena secara nyata telah memberikan kerugian yang sangat besar terhadap masyarakat, tapi setiap perbuatannya dianggap sebagai kelaziman. 

Sering sekali penulis tertegun ketika melihat sisa makanan dibuang secara percuma di berbagai tempat. Tak jarang juga kita melihat berbagai jenis buah, sayuran, nasi, dan daging secara sengaja tidak dihabiskan oleh teman atau kerabat kita ketika sedang menghadiri acara atau pesta. Bahkan sering terlihat seseorang mengambil makanan dalam porsi berlebih, serta sengaja menyisakannya tidak sampai bersih.

Mirisnya, hal tersebut dilakukan hanya karena takut dikatai kelaparan atau rakus. Bahkan ada juga yang secara sengaja menyisakan makanan sebagai bentuk gaya hidup. Tumpukan makanan yang menjadi sampah, seakan sesuatu yang lazim dan pada akhirnya menjadi kebiasaan sehari-hari.

Kelaziman tersebut nyatanya punya dampak yang besar terhadap tingkat food waste Indonesia. Tahukah anda bahwa rata-rata setiap orang di Indonesia membuang 3 kuintal makanan setiap tahun, menjadikan negara ini urutan kedua pembuang makanan terbesar di dunia setelah Saudi Arabia, yang rata-rata penduduknya membuang 427 kg makanan per tahun? Jumlah tersebut termasuk makanan-makanan yang tidak dihabiskan di meja makan di rumah atau restoran.

 Di sejumlah negara maju, food waste juga menjadi penyakit yang terus mewabah. Rata-rata penduduk Eropa dan Amerika Utara membuang hampir 100 kilogram makanan setiap tahun. Limbah makanan di Eropa saja bisa memberi makan 200 juta orang lapar.  Jika makanan yang terbuang di piring kita itu adalah sebuah negara, maka negara tersebut akan menjadi penghasil karbondioksida terbesar ketiga di dunia, setelah Amerika Serikat dan Cina.  

Limbah makanan rumah tangga adalah masalah utama lain di banyak negara berkembang dan maju. Konsumen di negara-negara berpenghasilan tinggi membuang hingga 30 persen pembelian buah dan sayuran dan memangkas produk hingga 33 persen menurut beratnya selama persiapan rumah tangga. Limbah makanan menghasilkan 3,3 miliar ton karbondioksida yang mempercepat perubahan iklim global.

Kerugian buah dan sayuran selama tahap ini diperkirakan 2 - 20 persen di negara maju, dan 24 - 40 persen di negara berkembang. Limbah tingkat tinggi menghasilkan harga yang lebih tinggi untuk produk akhir, yang dapat berkontribusi pada rendahnya konsumsi buah dan sayuran.

Merujuk data Food and Agricultural Organization (FAO), setidaknya sepertiga dari bahan makanan yang diproduksi di seluruh dunia atau sekitar 1,3 triliun ton, menjadi food loss dan food waste. Secara nilai, estimasi kerugian yang diakibatkan oleh food loss dan food waste di negara maju mencapai 680 miliar dolar AS dan di negara berkembang 310 miliar dolar AS. 

Besarnya kerugian yang diakibatkan oleh food waste ini tentunya punya dampak yang besar terhadap ketahanan pangan global. Apalagi merujuk pernyataan Riccardo Valentini, seorang profesor dari Università della Tuscia Italia yang menyebutkan global warming akan berkontribusi pada kenaikan harga pangan global dari 3 -  84 persen pada tahun 2050. 

Kondisi ini merupakan ancaman serius bagi produksi dan keamanan pangan. Saat ini lebih dari 800 juta orang menderita kekurangan gizi parah di seluruh dunia dan sekitar 36 juta meninggal karena kekurangan makanan. Berhasil menangani masalah akses makanan adalah tantangan besar dunia untuk tahun-tahun mendatang. 

Menurut FAO, food waste didefinisikan sebagai makanan yang siap dikonsumsi oleh manusia namun dibuang tanpa alasan atau makanan tersebut telah mendekati masa kadaluarsa. 

Hal ini tentu berbeda dengan food loss yang  mengacu pada hilangnya sejumlah pangan antara rantai pasok produsen dan pasar. Permasalahan food loss bisa diakibatkan oleh proses pra-panen seperti pangan tersebut tidak sesuai dengan mutu yang diinginkan pasar, permasalahan dalam penyimpanan, penanganan, pengemasan dari pangan tersebut sehingga produsen memutuskan untuk membuang pangan tersebut karena ditolak oleh pasar. 

Pemborosan pangan, khususnya yang terjadi di masyarakat kita, mejadi sangat kontradiktif dengan upaya mencukupi seluruh kebutuhan pangan rakyat. Ketersediaan pangan  dan ketimpangan akses pangan menjadi isu nasional yang tak henti diperdebatkan, sementara, kita masih membuang makanan di meja makan.

Selama ini kita membiarkan ketamakan sosial di depan mata.  Di satu sisi kita berjuang memproduksi dan berjuang mencukupi pangan, di sisi lain begitu banyak masyarakat kita yang mensia-siakannya.

Untuk kasus food loss, perlu ada upaya advokasi dan  intervensi di seluruh rantai pasokan makanan, dari petani hingga pemrosesan, perusahaan distribusi hingga pengguna akhir, untuk mencegah limbah. Bahkan sebelum makanan dibeli, kerugian terjadi karena penanganan yang tidak tepat, penurunan kualitas selama pengangkutan, dan infrastruktur yang tidak memadai untuk pendinginan dan penyimpanan. 

Kementerian Pertanian (Kementan) terus berupaya untuk meminimalisasi terjadinya food loss. Salah satunya dengan mengembangkan teknologi yang dapat memperpanjang masa simpan, baik dalam bentuk asal maupun dengan mengolah hasil pertanian menjadi pangan olahan. Dengan pengelolaan yang baik, pangan yang tadinya berpotensi terbuang justru dapat dimanfaatkan secara maksimal untuk memenuhi kebutuhan pangan dan gizi penduduk. 

Sementara untuk kasus food waste perlu disikapi dengan edukasi dan pembangunan karakter masyarakat tentang kesadaran memaksimalkan dan mensyukuri makanan yang sudah terhidang di meja makan. Juga diperlukan upaya mengelola dan memanfaatkan food waste dengan menerapkan sanksi sosial maupun denda bagi yang melakukan hal ini di tempat umum. 

Upaya lain yang bisa dilakukan adalah dengan belajar menggunakan kembali sisa makanan untuk dimanfaatkan bagi yang membutuhkan, pakan ternak atau kompos dan energi. Kementan sendiri terus berupaya mengedukasi petani dan para pelaku usaha pertanian untuk memanfaatkan sisa manfaat sebagai pakan atau kompos, seraya menciptakan teknologi yang mempermudah prosesnya. 

Kita harapkan dengan komitmen pemerintah dan semua pihak, kita bisa terus menekan tingkat pemborosan pangan. Seperti kata Mahatma Gandhi ”Dunia cukup besar untuk memenuhi kebutuhan setiap orang, namun dunia terlalu kecil untuk bisa memenuhi ketamakan manusia.” Bahaya besar ketamakan didepan mata kita adalah membuang makanan atau food waste.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement