Selasa 16 Jul 2019 11:00 WIB

Indef: Pengentasan Kemiskinan Harus Hati-Hati dan Realistis

Penurunan tingkat kemiskinan lebih sulit saat sudah mencapai angka satu digit.

Rep: Adinda Pryanka/ Red: Friska Yolanda
Warga menunjukan kartu peserta Program Keluarga Harapan (PKH) di Desa Gunung Sari, Citeureup, Bogor, Jawa Barat, Jumat (14/12/2018).
Foto: Antara/Yulius Satria Wijaya
Warga menunjukan kartu peserta Program Keluarga Harapan (PKH) di Desa Gunung Sari, Citeureup, Bogor, Jawa Barat, Jumat (14/12/2018).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Direktur Riset Institute for Development of Economic and Finance (Indef) Berly Martawardaya mengimbau pemerintah untuk mengambil pelajaran dari rendahnya pencapaian pengentasan kemiskinan selama 2014 hingga 2019. Hal ini dilakukan agar penyusunan target kemiskinan di Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2019-2024 dilakukan dengan hati-hati dan realistis walaupun bukan berarti pesimis.

Berly menambahkan, memang sulit untuk menurunkan kemiskinan setelah menembus satu digit. Hal ini lebih susah dibandingkan saat tingkat kemiskinan masih berada di rentang dua digit atau ketika masih belasan persen. 

Baca Juga

"Oleh karena itu, perlu terobosan baru," tuturnya melalui siaran pers, Selasa (16/7). 

Berly mengajak masyarakat untuk membuka kembali RPJMN 2015-2019 yang disusun pemerintah Jokowi, di mana tertulis tingkat kemiskinan ditargetkan turun ke tujuh hingga delapan persen di 2019. Atau, penurunan kemiskinan sebesar 2,96-3,96 persen.

Bahkan, dengan mengambil batas atas target di delapan persen dan masih ada waktu enam bulan lagi sampai data September 2019 keluar, pengentasan kemiskinan selama 4,5 tahun di Jokowi jilid pertama belum sesuai target. "Hanya tercapai 52,4 persen dari target," ujar Berly. 

Sebelumya, Badan Pusat Statistik (BPS) mengumumkan data yang menunjukkan bahwa pada Maret 2019 terdapat 9,41 persen (25,14 juta orang). Angka itu masih berada dibawah garis kemiskinan absolut.

Pada September 2014, Berly mengatakan, tepat sebulan sebelum Jokowi dilantik menjadi presiden, tingkat kemiskinan adalah 10,96 persen. Artinya, dalam 4,5 tahun masa kepemimpinan beliau terjadi penurunan kemiskinan absolute sebesar 1,55 persen.

Berly mengapresiasi berlanjutnya penurunan kemiskinan di era Jokowi sambil membandingkan dengan periode sebelumnya. Pada 2009 yang merupakan tahun pertama SBY periode II, kemiskinan hanya disurvey setahun sekali pada bulan Maret. Namun, data September 2014 dapat diestimasi dari data kemiskinan Maret 2014 dan 2015. 

Ditemukan bahwa, pada 4,5 tahun SBY jilid II tersebut terjadi penurunan kemiskinan. Yakni dari 13,74 persen ke 11,25 persen alias 2,49 persen. "Yang berarti 1,6x lipat-nya pencapaian Jokowi Jilid I," tuturnya. 

Di sisi lain, Berly menambahkan, masih ada delapan provinsi dengan tingkat kemiskinan absolut melebihi 1,5x kemiskinan nasional, 14,12 persen. Daerah itu adalah Aceh (15,3 persen), Bengkulu (15,2 persen), NTB (14,6 persen), NTT (21,1 persen), Gorontalo (15,5 persen), Maluku (17,7 persen), Papua (22,2 persen) dan Papua Barat (27,5 persen). 

"Hal tersebut merupakan pekerjaan rumah penting dan harus jadi prioritas kerja pemerintah yang membutuhkan langkah2 sigap, inovatif dan komprehensif," kata Berly.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement