Selasa 30 Jul 2019 12:23 WIB

Maybank Indonesia Bukukan Laba Bersih Rp 757 Miliar

Pencapaian laba bersih sejalan dengan tumbuhnya pendapatan operasional

Rep: Novita Intan/ Red: Nidia Zuraya
Logo Maybank Indonesia.
Logo Maybank Indonesia.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- PT Bank Maybank Indonesia Tbk mencatatkan laba bersih setelah pajak dan kepentingan non pengendali (PATAMI) sebesar Rp757 miliar pada semester I 2019. Angka ini tumbuh sekitar Rp 933 miliar dibandingkan periode sama tahun sebelumnya.

Presiden Komisaris Bank Maybank Indonesia Datuk Abdul Farid Alias mengatakan perolehan laba bersih karena adanya peningkatan provisi sehubungan bank menempuh langkah konservatif. Sekaligus melakukan pencadangan untuk kredit bisnis yang terdampak kondisi pasar yang terus menantang.

Baca Juga

“Pencapaian laba bersih sejalan dengan tumbuhnya pendapatan operasional sebelum provisi naik 2,1 persen menjadi Rp 2 triliun untuk semester I 2019 dibandingkan dengan Rp 1,97 triliun pada periode yang sama tahun lalu,” ujarnya dalam keterangan tulis yang diterima Republika, Selasa (30/7).

Menurutnya pertumbuhan pendapatan operasional didorong peningkatan fee based income, manajemen pengelolaan biaya yang berkelanjutan dan kenaikan pendapatan bunga bersih sejalan dengan pertumbuhan kredit sebesar 6,6 persen selama enam bulan pertama 2019.

Bank Maybank Indonesia juga mencatat pertumbuhan pendapatan non bunga (fee based income) sebesar 14,1 persen menjadi Rp 1,2 triliun pada Juni 2019 dibandingkan Rp 1 triliun pada Juni 2018.

“Pendapatan fee based income didukung fee global market, bancassurance, administrasi kredit, pemulihan kredit dan layanan lain yang disediakan bank,” ucapnya.

Sementara pendapatan bunga bersih meningkat 2,4 persen menjadi Rp 4 triliun dari Rp 3,9 triliun sedangkan marjin bunga bersih sedikit menurun sebesar 28 basis poin menjadi 4,8 persen.  Hal ini disebabkan oleh surplus likuiditas karena bank melakukan langkah proaktif untuk memastikan bank memiliki likuiditas yang cukup untuk memitigasi risiko selama dan setelah pemilihan umum.

“Perusahaan akan meneruskan pelaksanaan pricing kredit dan pengelolaan dana secara aktif untuk dapat lebih baik memitigasi tekanan pada marjin,” jelasnya.

Farid menambahkan biaya overhead tetap terkendali dengan pertumbuhan sebesar 6,5 persen menjadi Rp 3,2 triliun pada Juni 2019 dari Rp 3 triliun pada Juni 2018 sebagai hasil inisiatif pengelolaan biaya yang baik pada seluruh lini bisnis dansupport unit bank. 

Menurutnya biaya overhead ini termasuk insentif yang dibayarkan untuk simpanan mudharabah yang tumbuh 111,7 persen tanpa biaya insentif tersebut, biaya operasional turun sebesar 1,3 persen pada Juni 2019.

 

Dari sisi kredit tercatat tumbuh sebesar 6,6 persen menjadi Rp 135,4 triliun per 30 Juni 2019 dari Rp 127,1 triliun per 30 Juni 2018. Perbankan Global membukukan pertumbuhan kredit yang kuat sebesar 25,6 persen menjadi Rp 37,8 triliun dari Rp 30,1 triliun terutama didukung kredit Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan korporasi papan atas (perusahaan top tier) untuk pembiayaan infrastruktur dan investasi. 

Kredit Community Financial Services (CFS) Non-Ritel, yang terdiri dari Mikro, Usaha Kecil & Menengah (UKM) dan Business Banking tumbuh sebesar 1,6 persen menjadi Rp 54,6 triliun, sementara kredit CFS Ritel tercatat sebesar Rp 43,0 triliun per Juni 2019. 

“Bank mengelola turunnya eksposur dari commercial accountsyang menyebabkan peningkatan Non-Performing Loans (NPL) dan telah secara aktif melakukan restrukturisasi,” jelas Farid.

 

Menurutnya perusahaan terus menjaga posisi likuiditas yang kuat dengan simpanan nasabah meningkat 10,1 persen menjadi Rp 125,2 triliun pada Juni 2019. Adapun Rasio Loan-to-Deposit (LDR-Bank saja) berada pada level sebesar 92,3 persen.

Sementara Rasio Liquidity Coverage (LCR Bank) berada pada 165,7 persen per Juni 2019. “Angka ini jauh melampaui kewajiban minimum sebesar 100 persen. Selama semester pertama 2019 Bank juga menyelesaikan penerbitan Obligasi Berkelanjutan II Bank Tahap IV sebesar Rp 640,5 miliar untuk lebih lanjut mendiversifikasi dan memperkuat profil likuiditas,” ucapnya.

Farid mengatakan perusahaan mampu meningkatkan provisi kerugian kredit (loan loss provision) nasabah sebesar 46,3 persen menjadi Rp 975 miliar pada Juni 2019, terutama disebabkan oleh beberapa nasabah komersial. 

Adapun posisi modal bank tetap kuat dengan Rasio Kecukupan Modal sebesar 19,1 persen pada Juni 2019 dibandingkan 18,8 persen tahun lalu dan total modal Rp 26,2 triliun pada Juni 2019 dibandingkan Rp 24,7 triliun per Juni 2018.

“Kami terus menempuh langkah proaktif untuk mendukung nasabah dalam menghadapi tantangan dan akan terus melakukan langkah konservatif dalam menjaga postur risikonya untuk meningkatkan kualitas aset,” ungkapnya.

Selain itu, perusahaan juga memiliki lini syariah yang menunjukkan pertumbuhan cukup positif. Selama enam bulan pertama 2019, perusahaan mencatat pertumbuhan sebesar 15,3 persen pada total aset mencapai Rp 33,7 triliun pada Juni 2019 dari Rp 29,2 triliun pada Juni 2018, memberikan kontribursi 18,3 persen terhadap total aset konsolidasi bank.

Sementara total pembiayaan tumbuh 4,9 persen menjadi Rp 24,1 triliun dengan tingkatNon Performing Financing (NPF) sebesar tiga persen (gross) dan 2,1 persen (net) pada Juni 2019 dibandingkan dengan 2,9 persen (gross) dan 1,9 persen (net) pada Juni 2018. 

“Perbankan Syariah berhasil meningkatkan total simpanan yang melonjak 44,2 persen menjadi Rp 27,1 triliun pada Juni 2019.  Ini didorong oleh usaha yang terfokus dalam meningkatkan customer base dan peluncuran produk inovatif seperti tabungan haji My Arafah,” jelasnya.

Dari sisi anak usaha yakni PT Maybank Indonesia Finance (Maybank Finance) juga mencatat laba sebelum pajak meningkat sebesar 19,4 persen menjadi Rp 229 miliar pada semester I 2019. Meskipun total pembiayaan mengalami penurunan sebesar 3,8 persen.

Maybank Finance fokus untuk memastikan pengelolaan kualitas aset yang baik dengan penurunan NPL pada 0,34 persen (gross) dan 0,19 persen (net) per 30 Juni 2019 dibandingkan 0,65 persen (gross) dan 0,38 persen (net) pada periode yang sama tahun lalu.

Anak usaha lainnya seperti PT Wahana Ottomitra Multiartha Tbk (WOM) mencatat total pembiayaan konsumen (WOM) turun 12,1 persen menjadi Rp 7,3 triliun per Juni 2019. Angka ini sejalan dengan industri yang mengalami penurunan volume bisnis dalam enam bulan pertama 2019. 

“WOM memilih untuk tetap menerapkan prinsip kehati-hatian dalam menjaga postur risiko sehubungan dampak ekonomi yang terjadi terhadap potensi pengeluaran (spending potential) segmen konsumennya,” ucapnya.

Menurutnya provisi kerugian kredit WOM meningkat 6,8 persen menjadi Rp 249 miliar terutama sehubungan dampak portofolio menyusul bencana alam di Palu, Sulawesi Tengah pada semester pertama. Penurunan volume bisnis dan dampak force majeure menyebabkan penurunan laba sebelum pajak menjadi Rp 99 miliar pada Juni 2019 dari Rp 139 miliar pada Juni 2018 (diaudit).

“NPL gross WOM meningkat dari 2,42 persen pada Juni 2018 menjadi 2,98 persen pada Juni 2019, tetapi, NPL net membaik dari 1,27 persen menjadi 0,81 persen. Ke depan, WOM akan terus fokus untuk menumbuhkan bisnis dengan praktik manajemen risiko yang prudent,” ungkapnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement