Jumat 09 Aug 2019 18:10 WIB

Pelibatan TNI Atasi Terorisme tak Boleh Berlebihan

Pepres pelibatan TNI harus membatasi kewenangan TNi yang tidak boleh berlebihan.

Rep: Ronggo Astungkoro/ Red: Ratna Puspita
Pasukan Satuan Penanggulangan Teror TNI
Foto: Republika/Putra M. Akbar
Pasukan Satuan Penanggulangan Teror TNI

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat militer, Khairul Fahmi, menyebutkan tiga hal yang perlu diperhatikan pemerintah dalam membentuk payung hukum keterlibatan TNI dalam upaya penanggulangan terorisme. Ketiga hal tersebut, yakni pelibatan TNI tak boleh berlebihan, tak boleh tumpang tindih, dan tak boleh disalahgunakan.

Peneliti Institute for Security and Strategic Studies itu mengatakan, Peraturan Presiden (Perpres) soal keterlibatan TNI menanggulangi terorisme tidak boleh membuka peluang TNI masuk ke ruang penindakan yang digelar dalam kerangka penegakan hukum. Ia menuturkan, limitasi itulah yang disebut Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (HAM) tidak tampak dalam draf Perpres tersebut.

Baca Juga

"Taruhlah rezim saat ini adalah yang terbaik dan berani menjamin segala sesuatunya akan berjalan positif. Masalahnya, siapa bisa menjamin di masa depan akan tetap seperti itu? Padahal sebaik-baik rezim, usianya hanya 2x5 tahun," katanya melalui keterangan tertulisnya, Jumat (9/8).

Khairul mengingatkan, reformasi dibangun dengan air mata, keringat, dan darah rakyat. Karena itu, ia mengatakan, jangan sampai apa yang telah dikorbankan itu dikhianati.

Menurutnya, salah satu alasan pemisahan Polri dari TNI adalah untuk memastikan criminal justice system bisa berjalan sebagaimana mestinya. "Makanya, harus ada demarkasi yang jelas untuk menjamin tegaknya prinsip-prinsip hak asasi manusia dan demokrasi. Untuk alasan-alasan itulah Komnas HAM memang harus bersuara," tuturnya.

Sebelumnya, Komnas HAM menilai draf Perpres tentang Tugas TNI dalam Mengatasi Aksi Terorisme mencerminkan bangkitnya paradigma lama TNI. Komnas HAM belum melihat adanya aturan secara detail mengenai dalam skala seperti apa TNI dapat dilibatkan dalam penanganan terorisme dalam draf Perpres ini.

"Perpres ini mencerminkan paradigma lama TNI muncul kembali dalam ruang demokrasi kita. Makanya ini berbahaya," ujar Komisioner Komnas HAM, Choirul Anam, di Komnas HAM, Menteng, Jakarta Pusat, Kamis (8/8).

Choirul mengatakan, di semua negara demokratis memang dibutuhkan satu alat yang efektif untuk melawan terorisme ketika tindakannya masuk dalam skala yang paling membahayakan. Tapi, mengatur itu dengan benar dan baik juga penting. 

"Apakah itu dibentuk satu unit baru atau dilekatkan pada unit-unit yang sudah ada, level diskusinya bukan di situ. Level diskusinya adalah seberapa besar skala yang kita sepakati sehingga mereka bisa masuk dalam ruang penanggulangan terorisme," kata dia.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement