Ahad 01 Sep 2019 04:57 WIB

Mungkinkah Menghidupkan GBHN Lagi di Era Jokowi?

Dalam era Jokowi GBHN mungkin bisa hidup lagi?

Red: Muhammad Subarkah
Badan Pengkajian MPR menjaring masukan akademisi Gorontalo terkait GBHN.
Foto: MPR
Badan Pengkajian MPR menjaring masukan akademisi Gorontalo terkait GBHN.

Oleh: DR Margarito Kamis, Pakar Hukum Tata Negara dan Staf Pengajar FH Univiversitas KHairun Ternate

Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, PDI-P, yang pada tahun 1999-2002 bersama sejumlah partai lain menghubah UUD 1945, yang mengakibatkan GHBN hilang, kini mengagetkan kehidupan politik nasional dengan gagasan menghidupkan lagi Garis Besar Haluan Negara, GBHN, atau nama lain yang semakna dengannya. Gagasan ini, sejauh yang tersaji, terlihat memiliki resonansi, dengan nuansa legitimasi nilai gotong royong yang kuat. 

Seperti biasanya dalam kehidupan politik,  setiap kali muncul gagasan perubahan UUD, dimanapun itu, selalu disertai, dalam kenyataannya dengan ragam perspektif konstitusionalisme, yang satu dan lainnya saling menguatkan dan menyangkal. Begitulah hukum besi politik perubahan UUD, terlepas dari rincian tema yang hendak diubah.

GBHN dalam resonansi historis dengan nuansa legitmasi nilai-nilai gotong royong yang kuat itu, memanggil MPR menjadi satu-satunya wadah konstitusional untuk tidak hanya menetapkan, tetapi juga merumuskannya. MPR, dalam kerangka pikir itu menyandang fungsi organik sebagai organ yang memegang kewenangan merumuskan dan menetapkan GBHN. Kewenangan ini, dalam perspektif konstitusinalisme tidak serta-merta menjadikan MPR berstatus hukum sebagai lembaga tertinggi negara.

Tantangan Konseptual

Tidak usah berspekulasi mengenai kemungkinan MPR dirancang  menjadi lembaga tertinggi negara. Tetapi andai saja MPR memang dirancang menjadi lembaga tertinggi negara, apa yang salah dilihat dari sudut pemikiran konstitusionalisme? Satu-satunya perspektif  konstitusionalisme yang dapat diandalkan menantang, bukan melumpuhkan gagasan menghidupkan kembali GBHN dan kemungkinan MPR menjadi lembaga tertinggi negara adalah gagasan yang berbasis pada konstitusionalisme kosmopolitan, nama lain dari global constitusionalism.

Konstitusionalisme tipikal ini, harus diakui dalam kenyataannya dipromosikan oleh kapitalis global melalui jejaringnya yang cukup beragam. Di antara sejumlah jejaringnya adalah Institute For Foreign Relation, Rountable, Rand Corporation dan lainnya, sembari pada level tertentu bersandar pada lembaga berkapasitas global. IMF, World Bank dan lainnya yang sejenis, dalam game ini bisa, dengan cara yang canggih memberi legitimasi atas validitas  gagasan konstitusionalisme kospmopolitan.

Sumbang gagasan dari lembaga-lembaga itu dalam game perubahan terbatas UUD 1945 – bila kelak benar-benar dilakukan - tidak memiliki makna lain apapun  itu, selain memastikan mereka merupakan bagian inti perencana perubahan tatanan global sekaligus pengendali jalannya tatanan global itu. Tidak lebih. Dalam konteks itu senjata jenis lain yang membuat bising, yang akan dipanggil membombardir gagasan menghidupkan kembali GBHN tidak akan jauh dari konsep presidensialisme tradisional, yang pertama kali diperkenalkan Amerika.

Dalam gagasan presidensialisme Amerika itu, presiden dikonseptualisasikan secara hukum sebagai jabatan tunggal, sering disebut single executive. Presiden  dalam konsep itu – konsep khas Montesqieu – yang dielaborasi lebih praktikal oleh James Madison sebagai jabatan pelaksana UU, merealisasikan kewenangan itu bersamaan dengan bekerjanya fungsi pengawasan organ lain. Konsekuensi yang terlihat sejauh ini dalam pemikiran konstitusionaisme Amerika adalah presiden tak perlu dimintai pertanggungjawaban sebagaimana  pertanggungjawaban khas UUD 1945 sebelum diubah.

Pertanggung jawaban khas UUD 1945 sebelum diubah disebut Pak Ismail Suny sebagai pertanggung jawaban politik – mempertanyakan derajat ketepatan  pelaksanaan mandat melaksanakan GBHN - dengan konsekuensi hukum berupa pencabutan mandat, diberhentikan dari jabatan presiden. Bila dianalisis lebih cermat sembari menyodorkan sedikit kekecualian, konsep pertanggung jawaban yang disebut Pak Suny itu, pada level tertentu dianut UUD 1945 saat ini.

Kekecualiannya terletak pada sifat masalah dan bentuk permintaan serta pelaksanaan pertanggungjawaban. Presidensialisme tradisional yang dianut UUD 1945 saat ini  tegas menentukan batas – ruang lingkup – masalah yang dapat digunakan sebagai alasan meminta pertanggung jawaban presiden. Batasnya adalah hukum, bukan politik.  Hukumnya pun hukum pidana. Hanya pelanggaran pidana saja yang dapat diambil dan dijadikan alasan meminta pertanggung jawaban presiden.

Prosedurnya, seperti biasanya dalam konsep presidensialisme Amerika sebagaimana dianut dalam UUD 945 saat ini, rumit. DPR menuduh, MK memeriksa tuduhan itu, dan bila tuduhan itu dinilai terbukti dalam sidang MK, barulah tuduhan itu dibawa ke MPR untuk disidangkan. Sidang MPR menyeduiakan dua kemungkinan. Kedua kemungkinan itu adalah presiden diberhentikan atau sebaliknya tidak diberhentikan, karena berbagai sebab.    

Konsep presidensialisme tradisional ini juga akan disajikan dalam panggung oposan menolak GBHN. Dalam konteks itu presidensialisme akan disama-maknakan dengan pemilihan presiden secara langsung. GBHN dinilai sebagai akal-akalan politik memasuki gerbang gagasan mengubah pemilihan presiden dari langsung ke pemilihan  oleh MPR. Penantang gagasan GBHN akan menyingkirkan kenyataan historis tentang perdebatan pemilihan presiden pada tahun 1787 di Philadelphia Constitutional Convention.

Debat itu dipacu dengan dua isu besar dengan gelombang yang sama besarnya. Dua isu itu adalah pengisian jabatan presiden dilakukan dengan cara dipilih langsung oleh rakyat dan dipilih secara tidak langsung oleh legislatif. Dua gagasan ini memiliki pendukung dan penantang masing-masing.  Gagasan pemilihan presiden secara tidak langsung di sanggah Gubernur Morris, salah seorang peserta Philadelphia Constitutional Convention. Morris dalam sanggahannya sebagaimana dikutip oleh Carol Berkyn …if the legislature elect, “Morris declare, “it will be work of intrique, of cabal, and of faction.

Tidak itu saja argumennya, tetapi argumen selanjutnya  hemat saya cukup sensistif untuk diketengahkan pada kesempatan ini. Sanggahan itu didukung George Masson, perancang Virginia Declaration of Right, dengan argumen yang berbeda. Masson mengakui anggota legislatif merupakan ordinary citizen yang dapat dipercaya, tetapi tidak untuk isu pemilihan presiden. Menariknya pemilihan presiden secara langsung juga ditolak oleh eksponen lainnya.

Albridge Garry misalnya menolak pemilihan presiden secara langsung oleh rakyat. Garry berargumentasi…….any organized group that draws together men from across the nation will be able to control the outcome. Penolakan terhadap gagasan pemilihan langsung juga dikemukakan oleh Roger Sherman. Dalam kata-katanya Sherman menegaskan ..The people, tulis Carol Berkyn, “will never be sufficiently informed of “character” to select wisely.  

Dua sudut pandang ini tidak terpecahkan untuk waktu yang lama, hingga akhirnya pada awal September John Dickinson muncul dengan gagasan electoral college, yang perspektif awalnya telah dikemukakan oleh James Wilson dalam debat pada bulan Juli. Hal menarik dalam konteks analisis ini adalah gagasan John Dickinson itu muncul pada debat kesekian kalinya tentang jabatan presiden.

Morris, seperti telah diduga  datang dengan gagasannya, yang memuluskan gagasan Dickinson. Morris menyerukan peserta mengambil jalan tengah –electoral college- model Dickinson. Dalam menaikan level faliditasnya, Morris menyegarkan kembali fondasi konvensi. Fondasinya adalah konvensi  sedari awal ketakutan  terhadap penyalahgunaan kekuasaan, konspirasi dan korupsi. Penyalahgunaan kekuasaan, konspirasi dan korupsi diyakininya akan terjadi bila presiden dipilih oleh House of representatif atau Senat. Moris juga mengokohkan argumennya dengan konsep separation of power. Menurut Moris organ manapun dari keduanya yang diserahkan kewenangan memilih presiden akan merusak konsep separation of power.

Kenyataan historis ini secara kongklusif menyatakan bahwa presidensialisme tidak mengasumsikan secara relative sekalipun, apalagi menyamakannya dengan pemilihan presiden secara langsung. Itu sebabnya tidak ada alasan yang cukup untuk menyatakan kehadirkan GBHN sama dengan mengingkari presidensialisme. Tidak beralasan mempetertangkan GBHN dengan pemilihan presiden langsung. Keduanya tidak pernah diasumsikan sebagai dua sisi yang sama. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement