Kamis 12 Sep 2019 20:33 WIB

Wamenlu Rusia Peringatkan Risiko Terjadinya Perang Nuklir

Sergey Ryabkov menilai negara-negara Barat menjadi lebih emosional.

Rep: Kamran Dikarma/ Red: Teguh Firmansyah
Ilustrasi Bom Nuklir
Foto: Foto : MgRol112
Ilustrasi Bom Nuklir

REPUBLIKA.CO.ID, MOSKOW -- Wakil Menteri Luar Negeri Rusia Sergey Ryabkov memperingatkan tentang risiko terjadinya perang nuklir. Ia mengklaim telah melihat gejala atau indikasi yang memungkinkan terjadinya hal tersebut.

“Ada risiko perang nuklir. Dinamika negatif telah sangat terlihat selama setahun terakhir,” kata Ryabkov pada Kamis (12/9), dikutip laman kantor berita Rusia, TASS.

Dia berpendapat gerakan negara-negara Barat menjadi lebih emosional dan terkadang agresif. Mereka menghindari diskusi substantif tentang isu-isu yang sudah lewat dan menghambat saluran dialog.

Selain itu, Ryabkob menilai Barat secara sengaja mengejar garis destruktif dengan menghancurkan perjanjian efektif dalam bidang keamanan serta stabilitas. Padahal perjanjian tersebut telah dipertahankan selama puluhan tahun.

“Ini adalah perilaku yang sangat berbahaya dan tidak bertanggung jawab. Ini mungkin memicu konsekuensi yang agak negatif untuk stabilitas strategis,” ujar Ryabkov.

Rusia dan Amerika Serikat diketahui telah sama-sama keluar dari perjanjian Intermediate-range Nuclear Forces (INF) yang ditandatangani pada 1987. Perjanjian itu melarang kedua negara untuk memproduksi serta memiliki rudal nuklir dengan daya jangkau 500-5.500 kilometer.

Awal Agustus lalu, Menteri Pertahanan AS Mark Esper mengatakan negaranya siap mengembangkan rudal balistik jenis baru yang sebelumnya dilarang di bawah INF.

“Sekarang setelah kami mundur, Departemen Pertahanan akan sepenuhnya mengejar pengembangan rudal konvensional yang diluncurkan di darat ini sebagai respons yang bijaksana terhadap tindakan Rusia dan sebagai bagian dari portofolio opsi serangan konvensional yang lebih luas dari Pasukan Gabungan,” katanya.

Ia pun menilai bahwa keputusan AS mundur dari INF tepat. Sebab Washington tidak akan tetap menjadi pihak dalam perjanjian itu pada saat Rusia melakukan pelanggaran yang disengaja.

“Departemen Pertahanan akan bekerja sama dengan sekutu kita saat kita bergerak maju dalam mengimplementasikan Strategi Pertahanan Nasional, melindungi pertahanan nasional kita, dan membangun kapasitas mitra,” ujar Esper. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement