Senin 23 Sep 2019 08:39 WIB

Topi dan Boneka Pelepas Trauma Tsunami

Persoalan terberat pascabencana, yakni trauma yang masih membekas.

Red: Budi Raharjo
Nelayan terdampak tsunami Selat Sunda di Pulau Sebesi dan Desa Kunjir, Rajabasa, Kabupaten Lampung Selatan, menerima bantuan sebanyak 88 perahu dan mesin dari Kiara,  Kamis (12/9).
Foto: Republika/Mursalin Yasland
Nelayan terdampak tsunami Selat Sunda di Pulau Sebesi dan Desa Kunjir, Rajabasa, Kabupaten Lampung Selatan, menerima bantuan sebanyak 88 perahu dan mesin dari Kiara, Kamis (12/9).

REPUBLIKA.CO.ID,

Oleh Mursalin Yasland

Trauma mendalam di benak sebagian besar kaum ibu korban tsunami di Pulau Sebesi masih jelas terlihat. Mereka belum mau membuka suara atau bercerita tentang kejadian nahas pada 22 Desember 2018 lalu.

Dalam situasi itulah, tim Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara) datang untuk mengisi kekosongan mereka. Pertemuan kedua para ibu rumah tangga di Dusun III Regahan Lada, Desa Tejang, Pulau Sebesi, Kabupaten Lampung Selatan, Provinsi Lampung, akhir pekan lalu, sedikit menghilangkan kepenatan pascabencana.

“Ini topi yang saya buat. Tapi, jelek-jelek,” kata Rohilawati (36 tahun), salah seorang ibu rumah tangga saat menyerahkan hasil kerajinan tangannya kepada Salma, relawan psikososial perempuan dari Kiara. Salma pun langsung meraihnya.

“Ibu gak boleh bilang jelek. Ini bagus-bagus kok. Ini karya ibu sendiri, jadi hasilnya, saya lihat bagus. Kata siapa jelek?” timpal Salma memotivasi Rohilawati.

Tak hanya Rohilawati. Ibu-ibu lainnya korban bencana tsunami akibat longsoran Gunung Anak Krakatau (GAK) itu telah menyiapkan buah kerajinan tangannya berupa topi dan boneka. Kerajinan tersebut dibuat dengan tangan sendiri, tanpa mesin jahit. Sedangkan, bahannya, berasal dari pakaian atau kain tak berguna yang masih bisa dimanfaatkan.

Pada awal 2019, setelah bencana tsunami melanda Pulau Sebesi, yang berdekatan langsung dengan GAK, tim Kiara bersama relawan psikososial untuk perempuan dan anak mendatangi pulau tersebut. Bantuan sembako dan perumahan sudah diberikan pihak lain, termasuk pemerintah, pusat, dan daerah.

Kiara mengambil bagian yang belum disentuh lembaga lain. Salah satunya, membantu memulihkan kondisi ekonomi nelayan dengan menyediakan perahu dan mesin dan program trauma healing bagi ibu rumah tangga dan anak-anak di Pulau Sebesi.

Saat itu, para ibu rumah tangga istri nelayan Pulau Sebesi dikumpulkan. Mereka diberikan pengarahan dan sesekali juga, kata Salma, dia harus mendongeng yang isinya nasihat-nasihat agar semangat bekerja para ibu kembali terpatik. Saat Salma meminta para ibu itu membuat kerajinan tangan dengan bahan yang mudah didapat, tapi bernilai ekonomis, mereka pun tertarik.

“Kami mengambil bagian trauma healing dengan memberikan kesibukan ibu-ibu dan anak perempuannya, seperti kerajinan tangan membuat topi dan boneka,” ujar Salma.

photo
Salma, relawati psikososial Kiara memberikan trauma healing ibu-ibu terdampak bencana tsunami di Pulau Sebesi, akhir pekan lalu

Akhir pekan lalu, Kiara kembali ke kampung tersebut untuk melihat perkembangan psikis pada korban. Menurut Salma, persoalan terberat pascabencana, yakni trauma yang masih membekas, terutama di benak korban dan masyarakat sekitar. Trauma ini, ujar dia, tidak bisa diatasi dengan hanya sekali, tapi harus berkelanjutan.

Sembilan bulan setelah tsunami, kedatangan tim Kiara bersama Salma, membuat energi baru bagi istri-istri nelayan. Dalam pertemuan itu, mereka langsung memperlihatkan tugas kerajinan tangannya. Ada topi warna-warni dan juga boneka tangan.

Kali ini, Salma juga membawa bahan kain, pola, serta motif topi dan boneka untuk para korban. Menariknya, para ibu-ibu itu juga telah membentuk kelompok kerja bernama Bugo dan Lumay yang sering mereka pelesetin menjadi Luna Maya.

Lumay adalah sejenis biota laut mirip rumput laut. Ibu-ibu di Pulau Sebesi selalu mengambil lumay tatkala hasil tangkapan ikan nelayan berkurang. “Cari lumay dan keong tersebut untuk tambahan saja karena hasil ikan berkurang,” tutur Wati, seorang ibu lainnya.

Tak lupa, Salma menyelipkan petuah orang terdahulu kepada ibu-ibu tersebut. Isinya, berupa masalah suami, rezeki, pertolongan kepada Allah, dan semangat bekerja. “Masyarakat di sini selain bergantung dengan hasil laut, mereka juga berkebun. Jadi, laut jangan dibuntuti (dibelakangi oleh rumah-rumah warga). Laut itu harus dihadapi karena itu tempat rezeki kita,” ujar Salma.

Salma mengajak ibu-ibu tetap semangat bekerja seperti biasa. Trauma akhir tahun lalu, perlahan akan mulai hilang. Menurut dia, kerajinan tangan topi dan boneka telah membuat ibu-ibu di kampung nelayan tidak sepi senyap lagi.

Mengahiri pertemuan itu, Salma berjanji akan kembali. Salma mengaku, akan menagih hasil kerajinan ibu-ibu, sekaligus Kiara akan membeli atau memasarkannya.

Sekretaris Jenderal Kiara, Susan Herawati, mengatakan, ibu-ibu di Pulau Sebesi harus tetap mandiri, meskipun terjangan tsunami masih terbayang. “Ibu-ibu harus mandiri, harus punya kekuatan bersama, supaya ke depan harus belajar dari kejadian lalu,” kata Susan.

Menurut dia, Kiara akan membawa hasil kerajinan para ibu itu ke Jakarta dan ditampilkan pada ajang-ajang karya nasional. “Kita akan bantu fasilitasi hasil karya ibu yang terdampak bencana,” kata dia. n ed: ilham tirta

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement