Rabu 25 Sep 2019 11:23 WIB

Pemerintah Setuju Tambah Dua Provinsi Baru di Papua

Pemekaran provinsi di Papua dinilai tidak melanggar kebijakan moratorium.

Red: Budi Raharjo
Pengendara melintasi Kantor Bupati Jayawijaya yang terbakar saat aksi unjuk rasa di Wamena, Jayawijaya, Papua, Senin (23/9/2019).
Foto: Antara/Marius Wonyewun
Pengendara melintasi Kantor Bupati Jayawijaya yang terbakar saat aksi unjuk rasa di Wamena, Jayawijaya, Papua, Senin (23/9/2019).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) Wiranto mengatakan, pembu kaan provinsi baru di Papua dan Papua Barat bukan pemekaran. Menurut dia, pembukaan dua provinsi baru tersebut sesuai jawaban Presiden Joko Widodo (Jokowi) saat menerima tokoh Papua di Istana Presiden, beberapa waktu lalu.

Selain itu, Wiranto mengklaim, undang-undang juga mengisyaratkan Papua dan Papua Barat harus ada empat provinsi. "Ternyata walaupun ada moratorium tidak ada lagi pemekaran daerah, tapi untuk Papua dan Papua Barat tidak dimekarkan. Karena undang-undang menyetujui adanya empat provinsi," ujar Wiranto di Kemenko Polhukam, Jakarta Pusat, Selasa (24/9).

Baca Juga

Ia mengatakan, 61 tokoh Papua meminta kepada Jokowi agar ada tujuh provinsi di Bumi Cendrawasih sesuai tujuh adat yang ada. Akan tetapi, persyaratan pembentukan provinsi bukan adat, melainkan persyaratan jumlah penduduk dan kemandirian perekonomian.

"Di Australia sana ada daerah yang luas di padang pasir yang besar itu, tapi cuma kanguru rakyatnya, kan enggak bisa. Karena itu kembali tadi ini sudah akan disetujui presiden dua provinsi baru," kata dia.

Menko Polhukam menuturkan, pihaknya mendorong rekonsiliasi kelompok dan suku yang berada di tanah Papua. Yakni, dengan tidak membuat pengelompokan suku asli Papua dan pendatang.

Sementara itu, Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tjahjo Kumolo mengatakan, pemerintah pusat masih memoratorium pembentukan daerah otonomi baru. Terkait pembukaan provinsi baru di Papua, Mendagri Tjahjo Kumolo menyatakan, hal itu tidak akan melanggar kebijakan moratorium. Sebab, dalam hal itu sudah diatur dalam undang-undang otonomi khusus.

Tjahjo mengatakan, permintaan pembukaan wilayah baru di Papua akan ditindaklanjuti dengan pembahasan bersama. "Mau dibahas bersamalah, pada saat gubernur, DPRD, tokoh adat, Majelis Rakyat Papuanya ketemu dengan Bapak Presiden. Itu sedang kita atur waktu lebih baik," kata dia.

Politikus PDIP ini mengakui ada usulan pembukaan provinsi baru didasarkan pada perwakilan lima suku adat besar di Papua. Usulan tersebut akan dijajaki pemerintah pusat bersama tim otonomi khusus.

Namun, Kemendagri meminta kepemimpinan ataupun pemerintahan di Papua jangan hanya dilihat dari pembedaan antara masyarakat pegunungan dan pesisir. Mendagri menilai kepemimpinan dan pemerintahan harus mencerminkan lima suku adat besar yang ada di sana.

Tjahjo pun menyebutkan contoh daerah di Indonesia hasil pemekaran berdasarkan suku. Salah satunya Kesultanan Yogyakarta yang kini menjadi provinsi dengan otonomi khusus, yakni Daerah Istimewa Yogyakarta.

photo
Menko Polhukam Wiranto.

Selain Yogyakarta, juga masih ada contoh lain, yakni Kota Surakarta. Tjahjo mengatakan, dua kesunanan di Surakarta menjadi dasar pembentukan kota madya. Ia tak berharap pembentukan wilayah otonomi baru berdasarkan kearifan lokal Papua ataupun Papua Barat bisa berdampak positif bagi seluruh masyarakat yang ada di wilayah Indonesia bagian timur tersebut.

"Saya kira ini perlu jadi perhatian karena luas wilayah Papua yang cukup besar, potensi sumber daya alam yang masih melimpah sehingga ke depan perlu ditata dengan baik," kata dia.

Di tempat yang sama, Plt Direktur Jenderal Otonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri (Dirjen Otda Kemendagri) Akmal Malik mengatakan, pihaknya menampung aspirasi pemekaran wilayah Papua dan Papua Barat. "Sebetulnya sudah ada dasar hukum Undang-Undang 1945 dulu di dalamnya ada empat provinsi di dalamnya. Cuma tidak terlaksana dulu karena tidak ada kesepakatan antara DPRD dan gubernur," ujar Akmal.

Namun, untuk tindak lanjut mengabulkan pemekaran wilayah, harus ada arahan dari presiden terlebih dahulu. Di sisi lain, kata Akmal, Kemendagri terus melakukan evaluasi internal setiap tahun secara komprehensif yang dapat menjadi masukan untuk mendagri dan menko polhukam. "Kita tunggu arahan presiden. Kita Kemendagri akan belerja ketika kita ada perintah soal itu," ujarnya. N mimi kartika, ed: agus raharjo

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement