Jumat 04 Oct 2019 13:47 WIB

Konsultasi Syariah: Biaya Riil dalam Penagihan

Besar kerugian yang dibayar sesuai dengan nilai kerugian riil yang pasti dialami.

Red: Friska Yolanda
Ustaz Oni Sahroni
Foto: Republika TV
Ustaz Oni Sahroni

REPUBLIKA.CO.ID, Diasuh oleh Dr Oni Sahroni, Dewan Syariah Nasional (DSN) MUI

Assalamu'alaikum wr. wb.

Baca Juga

Jika nasabah lembaga keuangan syariah (LKS) terlambat membayar angsuran (kewajiban), maka sesuai dengan kesepakatan nasabah harus membayar denda keterlambatan dan ganti rugi sebesar biaya riil yang timbul karena keterlambatannya. Pertanyaannya, apa saja kriteria atau parameter biaya riil tersebut? Berapa yang harus dikeluarkan oleh nasabah untuk membayar ganti rugi tersebut?

Aminah, Jakarta

--

Waalaikumussalam wr wb,

Ganti rugi (ta'widh) adalah sejumlah uang atau barang yang dapat dinilai dengan uang yang dibebankan kepada seseorang atau badan karena melakukan wanprestasi. Sedangkan, biaya riil adalah biaya-biaya langsung yang nyata-nyata dikeluarkan akibat wanprestasi.

Menurut Fatwa DSN MUI tentang ta'widh, LKS dan nasabah boleh menyepakati apabila nasabah terlambat membayar dan mengakibatkan kerugian riil kepada LKS, maka LKS berhak meminta ganti rugi atas biaya-biaya yang diakibatkan oleh keterlambatan nasabah tersebut.

Hal ini sebagaimana Fatwa DSN MUI No.43/DSN-MUI/VIII/2004 tentang Ganti Rugi: "Ganti rugi hanya boleh dikenakan atas pihak yang dengan sengaja atau karena kelalaian melakukan sesuatu yang menyimpang dari ketentuan akad dan menimbulkan kerugian pada pihak lain.

Kerugian yang dapat dikenakan ta'widh adalah kerugian riil yang dapat diperhitungkan dengan jelas. Kerugian riil adalah biaya-biaya riil yangg dikeluarkan dalam rangka penagihan hak yang seharusnya dibayarkan. Besar ganti rugi (ta'widh) adalah sesuai dengan nilai kerugian riil (real loss) yang pasti dialami (fixed cost) dalam transaksi tersebut dan bukan kerugian yang diperkirakan akan terjadi (potential loss) karena adanya peluang yang hilang (opportunity loss).

Fatwa DSN MUI tersebut belum menentukan kriteria dan parameter biaya riil dalam penagihan, sehingga membuka banyak penerapan yang berbeda-beda antara satu LKS dengan yang lainnya.

Oleh karena itu, fatwa DSN MUI No.129 tentang Biaya Riil Sebagai Ta'widh Akibat Wanprestasi telah menegaskan kriteria yang diambil sebagai berikut: (a) Dapat ditelusuri (trace-ability) atas biaya penagihan dan kerugian riil yang nyata-nyata terjadi sebagai kepatutan, kewajaran, dan kelaziman dalam proses bisnis (al-urf ash-shahih). Berdasarkan fatwa tersebut, maka biaya-biaya yang tidak dapat ditelusuri dan biaya-biaya yang tidak nyata-nyata terjadi itu tidak boleh dimasukan dalam biaya riil.

(b) Terkait langsung dengan biaya penagihan dan kerugian akibat pembatalan yang bersifat variabel yang telah terjadi (incurred direct variable cost). Maka, berdasarkan fatwa tersebut, biaya-biaya yang tidak terkait langsung dengan biaya penagihan dan biaya-biaya yang belum terjadi itu tidak masuk dalam biaya riil.

(c) Jumlah atau nilainya harus memenuhi prinsip kepatutan, kewajaran, dan kelaziman (Arm's Length Principle/ALP). Berdasarkan fatwa tersebut, biaya-biaya yang tidak lazim juga tidak wajar, maka tidak boleh dimasukkan ke dalam biaya riil.

Fatwa DSN MUI tersebut juga memberikan beberapa contoh biaya riil yang boleh ditagihkan kepada nasabah dan menjadi pendapatan perusahaan, di antaranya adalah biaya komunikasi, biaya surat-menyurat, biaya perjalanan, biaya jasa konsultasi hukum, biaya jasa notariat, biaya perpajakan, serta biaya lembur dan kerja ekstra.

Tidak ada landasan, baik nas ayat, hadis, ataupun penjelasan dalam kitab-kitab klasik perihal parameter biaya riil. Tetapi, landasannya merujuk kepada kaidah umum tentang ganti rugi, substansi biaya riil, dan tradisi yang lazim dan wajar. Di antaranya penegasan 'Abd al-Hamid Mahmud al-Ba'li: "Ganti rugi karena penundaan pembayaran oleh orang yang mampu didasarkan pada kerugian yang terjadi secara riil akibat penundaan pembayaran dan kerugian itu merupakan akibat logis dari keterlambatan pembayaran tersebut." (Mafahim Asasiyyah fi al-Bunuk al-Islamiyah, al-Qahirah: al-Ma'had al-'Alami li-al-Fikr al-Islami, 1996).

Hal ini sebagaimana kaidah: "Sesuatu yang diketahui (berlaku) secara adat (berdasarkan kebiasaan) sama statusnya dengan sesuatu yang ditetapkan sebagai syarat." (Durar al-Hukkam fi Syarh Majallat al-Ahkam, Ali Haidar, Dar al-Jail). Wallahu a'lam.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement