Jumat 11 Oct 2019 23:42 WIB

Anomali Filosofi Perguruan Tinggi

Kedewasaan intelektual perguruan tinggi berasal dari diskusi bukan tekanan

Red: Ichsan Emrald Alamsyah
Ustaz Abdul Somad
Foto: Istimewa
Ustaz Abdul Somad

Perguruan Tinggi di Indonesia untuk kesekian kalinya membuat kontroversi kebijakan di tengah masyarakat, terkhusus umat Islam. Beberapa waktu lalu sempat ramai larangan menggunakan cadar dan keputusan DO untuk salah satu mahasiswa di IAIN Kendari. Terbaru, kemaren kita mendengar info adanya pembatalan sepihak oleh rektorat terhadap kuliah umum Ustadz Abdul Shomad di masjid UGM.

Kuliah ini rencananya dilaksanakan hari Sabtu, 12 Oktober 2019 (www.tirto.id, Rabu (9/10)). Padahal Pihak takmir sendiri menyatakan bahwa mereka sudah mematuhi semua persyaratan yang diajukan oleh pihak kampus, di antaranya tidak ada publikasi dan acaranya tidak memakai konsep tabligh akbar (www.republika.co.id, Kamis (10/10)).

Alasan yang diajukan oleh pihak kampus (perguruan tinggi) dalam menolak kehadiran Ustadz Abdul Somad di antaranya adalah bahwa kampus harus menjaga keselarasan kegiatan akademik dengan kegiatan non akademik. Muncul pertanyaan besar, apakah ketika diadakan kuliah umum bukan bertajuk ilmiah?

Terlebih UAS selama ini sangat menonjol ketika memberikan materi pengajian ataupun tabligh akbar selalu menjelaskan dengan dasar baik secara aqli atau naqli yang berasal dari Al-Qur’an dan Hadist. Jarang dengan guyonan yang tidak bermanfaat.

Di sisi lain, kita sering disuguhkan dengan acara berupa pergelaran musik atau konser yang dilaksanakan di arena kampus. Peserta konser tersebut bahkan sebagian besar adalah dari kalangan mahasiswa.

Sebuah konser yang seringkali dekat dengan adanya fenomena membuka urat, berduaan, pacaran, ikhtilat, bahkan dengan meneguk minuman yang memabukkan. Hal ini dari sisi mahasiswa diangap seperti hiburan di tengah penatnya tugas  perkuliahan. Kampus pun, bisa maraup keuntungan dengan menyewakan gedung dan fasilitas yang mereka punya untuk acara konser ini.

Lalu, apakah pagelaran musik atau konser itu dipandang lebih selaras dengan kegiatan akademik dibandingkan dengan kegiatan kuliah dan diskusi ilmiah? Tentunya jika kita berfikir dengan akal sehat justru berkebalikan.

Namun nyatanya kampus justru memiliki filosofi yang berbeda. Harusnya filososfi yang dipegang adalah folosofi yang memuaskan akal dan menentramkan jiwa. Namun nyantanya, perguruan tinggi justru membuang akal sehat dalam memandang setiap fenomena yang ada. 

Hal ini, akibat begitu lamanya perguruan tinggi hidup dalam ruh sekulerisme (menjauhkan agama dari kehidupan). Akibatnya, mereka banyak yang terkena virus islamophobia. Lebih parah lagi, beberapa kampus kita saat ini justru memilih menjadi “penjaga” dari rezim penguasa.

Bukannya bekerja keras untuk mencetak mahasiswa yang memiliki karakter yang kritis dan peduli, justru membiarkan mahasiswa hidup dalam gaya hidup yang pragmatis, permissive dan hedonis. Pada titik akhir, mereka akhirnya lupa akan peran sentral mereka sebagai agent of change.

Seharusnya para petinggi perguruan tinggi membuka secara luas ruang-ruang untuk diskusi dan mencari solusi. Terlebih di tengah berbagai bencana keterpurukan yang melanda negeri ini. Bukannya justru mengekang perkembangan dunia intelektualitas kampus.

Sebab, kedewasaan intelektual kampus terwujud dengan adanya diskusi bukan dengan tekanan dan ancaman. Makanya kondisi perguruan tinggi saat ini layak disebut sebagai anomali dari filosofi yang diemban oleh Perguruan Tinggi. 

Maka, harusnya perguruan tinggi segera tersadarkan dengan anomali yang dialaminya. Sebab sejatinya perguruan memegang peran sentral mencetak genereasi pengisi peradaban bangsa. Perguruan tinggi juga sepatutnya memahami bahwa memisahkan agama dari kehidupan terkhusus dalam proses pendidikan akan menjadikan ketimpangan kualitas dari generasi.

Maka sudah seharusnya perguruan tinggi menjadi institusi yang berada di garda terdepan untuk mencampakkan sekulerisme dan mengambil filosofi yang memuaskan akal dan menentramkan jiwa, yakni Islam untuk menjalankan roda pendidikan kampus. 

Wallahu A’lam Bi Showab.

Pengirim: Ifa Mufida (Pemerhati Permasalahan Sosial)

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement