Sabtu 12 Oct 2019 12:49 WIB

Melirik Tren PHK, AI, dan Otomasi di Era Transisi

Sekumpulan pekerjaan akan hilang dan sekumpulan pekerjaan akan tumbuh.

Rep: wartaekonomi.co.id/ Red: wartaekonomi.co.id
Melirik Tren PHK, AI, dan Otomasi di Era Transisi. (FOTO: Bernadinus Adi Pramudita)
Melirik Tren PHK, AI, dan Otomasi di Era Transisi. (FOTO: Bernadinus Adi Pramudita)

Warta Ekonomi.co.id, Jakarta

Pemutusan hak kerja atau yang sering disebut PHK kerap mewarnai lika-liku dunia perekonomian dari berbagai sektor. Pengambilan keputusan untuk melakukan PHK sering terjadi dengan alasan pelanggaran kontrak kerja, perampingan finansial, hingga yang baru-baru ini menjadi tren adalah menggantikan peran manusia dengan kecerdasan buatan atau artificial intelligence (AI).

Pimpinan peneliti teknologi dari Institute of Chartered Accountants in English and Wales (ICAEW), Kirstin Gillon, yang meneliti peran AI, big data, data analytics, keamanan siber, dan tekfin memaparkan pendapatnya terkait tren PHK dengan berkembangnya AI.

Baca Juga: Fileless, Ancaman Baru Serangan Siber

"Seperti inilah periode transisi, sekumpulan pekerjaan akan hilang dan sekumpulan pekerjaan akan tumbuh. Orang-orang harus memiliki kemampuan tertentu untuk bertahan di era disrupsi," katanya ketika diwawancarai oleh redaksi Warta Ekonomi, Jumat (11/10/2019).

Di era transisi dari era industri ketiga menuju keempat ini rupanya masih agresif seperti transisi dari era kedua menuju era ketiga. Pemanfaatan teknologi juga berimbas kepada pengurangan tenaga kerja yang berujung pada PHK.

Contohnya, pada bulan lalu perusahaan rintisan kuliner berbasis di India, Zomato, melakukan PHK kepada 540 karyawannya di bagian customer service karena menurutnya lebih efisien menggunakan AI. Tak jauh dari perusahaan e-commerce tanah air, Bukalapak, meski bukan digantikan oleh AI, perampingan finansial jadi alasan Bukalapak melakukan PHK sebanyak 100 karyawannya.

Kirstin menjawab hal tersebut lazim pada periode disrupsi dalam transisi menuju era revolusi industri keempat. Yang menjadi perhatian, menurut Kirstin, adalah bagaimana mengalihdayakan sumber daya manusia yang tidak memiliki keahlian yang relevan dengan perkembangan zaman.

"Di Amerika dulu terdapat banyak supir truk, lalu muncul truk tanpa supir. Mereka tidak mungkin mengalihdayakan supir truk menjadi software engineer, terlalu sulit," ujarnya.

Sebagai sebuah bagian dari negara, tentu individu berhak mendapatkan pendampingan dari pemerintah dalam menghadapi isu ini. "Pemerintah juga harus berpikir bagaimana membantu orang-orang untuk mendapatkan keahlian yang tepat dan bagaimana pemerintah dapat membantu mereka di periode transisi ini," katanya.

Keahlian yang diperlukan

Keahlian tertentu tentu dibutuhkan untuk tetap relevan terhadap perkembangan zaman. Munculnya otomasi menjadi titik balik untuk setiap individu memilih baik-baik seperti apa keahlian yang perlu dikembangkan.

"Ada yang berpikir bahwa orang-orang perlu mengembangkan keahlian di bidang teknologi supaya mereka bisa membuat mesin, yang kemudian menciptakan pekerjaan di sektor perkembangan teknologi," ungkapnya. Meski begitu, otomasi masih menjadi ancaman bagi kelangsungan pekerjaan individu. Hampir semua dapat diotomatisasi di era kini.

Baca Juga: Human Billboard: Konsep Baru Iklan Berbasis Teknologi dari Ubiklan

"Dengan berkembangnya otomasi, kami menganjurkan kepada pelajar dan dan anggota kami untuk memiliki keahlian di bidang teknologi. Tapi mungkin pada akhirnya keahlian di bidang teknologi juga akan terotomasi," ujarnya.

Hal senada pernah diungkapkan oleh Menteri Komunikasi dan Informatika, Rudiantara. Menurutnya, sesuatu yang bersifat repetitif tidak luput akan proses otomasi maupun AI.

"Sesuatu yang sifatnya repetitif itu bisa digantikan dengan AI dengan mudah. Kalau kita lihat, bank itu sekarang sudah pakai chatbot, ga pakai lagi customer service," katanya pada Selasa (17/9/2019).

Menurut Kirstin, sejumlah keahlian sangat sulit digantikan oleh AI maupun proses otomasi. "Kami menganjurkan untuk mengembangkan keahlian yang sulit digantikan oleh mesin seperti kreativitas, memiliki keahlian untuk memulai usaha sendiri atau enterpreneurial, empati, mampu membangun kepercayaan dan hubungan. Fleksibilitas dan kemampuan memanfaatkan teknologi untuk memulai hal baru atau inovatif juga jadi keahlian yang diperlukan," ujarnya.

Melihat perspektif jangka panjang, menurutnya, keahlian tersebut selain relevan dari waktu ke waktu, juga menjadi keahlian yang belum bisa digantikan oleh mesin. Lantas, jika sudah memiliki keahlian tersebut, bagaimana tentang lapangan pekerjaan yang hilang akibat AI atau otomasi?

"Teknologi baru dan AI akan membuat pekerjaan baru. Apakah itu bagian membuat teknologi baru ataupun bagian menggunakan teknologi untuk melakukan hal baru? Saya yakin ini kita akan menemukan banyak pekerjaan baru," ucap Kirstin.

Menurutnya, sepanjang pergantian era industri, tidak sedikit pekerjaan yang hilang. Namun, tidak sedikit pula pekerjaan yang tumbuh karena transisi era tersebut.

"Sejarah perekonomian menunjukkan pada akhirnya kita membuat lapangan kerja baru lebih dari pekerjaan yang hilang," ucapnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement