Kamis 17 Oct 2019 13:45 WIB

Soal Unjuk Rasa, Kapolri tak Ingin Kecolongan

Pelantikan presiden akan menjadi sorotan dunia.

Red: Muhammad Hafil
Kapolri Jenderal Pol Tito Karnavian (kanan) meninjau personel gabungan saat Apel Gelar Pasukan Pengamanan Pelantikan Presiden Dan Wakil Presiden periode 2019-2024 di Lapangan Silang Monas, Jakarta, Kamis (17/10/2019).
Foto: Antara/Nova Wahyudi
Kapolri Jenderal Pol Tito Karnavian (kanan) meninjau personel gabungan saat Apel Gelar Pasukan Pengamanan Pelantikan Presiden Dan Wakil Presiden periode 2019-2024 di Lapangan Silang Monas, Jakarta, Kamis (17/10/2019).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kapolri, Jenderal Polisi Tito Karnavian, mengatakan, keputusan diskresi terkait penerbitan Surat Tanda Terima Pemberitahuan (STTP) unjuk rasa diambil untuk mencegah terjadinya kerusuhan saat hari pelantikan Presiden dan Wakil Presiden. Menurutnya, hari itu Indonesia akan menjadi sorotan dunia karena tamu negara baik dalam maupun luar negeri yang akan ikut hadir pelantikan.

"Kita tidak ingin kecolongan. Kita tidak ingin menanggung risiko bahwa bangsa kita dicap buruk meskipun tidak istilah perizinan maka yang pertama kita ingin memberikan imbauan kepada masyarakat untuk sebaiknya tidak melakukan mobilisasi massa," ujar Tito di Monas, Jakarta Pusat, Kamis (17/10).

Tito menjelaskan, keputusan itu diambil setelah melihat sejumlah unjuk rasa yang pernah terjadi. Menurutnya, kebanyakan unjuk rasa tersebut berakhir rusuh, terlebih menjelang malam hari. Padahal, unjuk rasa sudah diatur hanya dapat berjalan hingga sore hari.

"Kalau seandainya selama ini demonya aman-aman saja kita no problem. Tapi ini demonya yang belakangan, mohon maaf, ada yang idealisme, ada juga pihak-pihak tertentu yang memanfaatkan ini untuk kepentingan sendiri," katanya.

Ia menjelaskan, diskresi kepolisian tersebut sudah tertuang dalam pasal 6 Undang-undang (UU) No. 9/1998 tentang Penyampaian Pendapat di Muka Umum. Pada pasal itu diatur tentang batasan-batasan dalam melakukan unjuk rasa. Di antaranya, tidak boleh mengganggu kepentingan publik, ketertiban umum, tidak boleh mengganggu hak asasi orang lain, mengindahkan etika serta moral, dan lainnya.

Kendati demikian, Polri menegaskan tidak melarang aksi unjuk rasa. Dengan catatan, unjuk rasa itu tidak berujung tindak anarkis. Polri tetap mengerahkan intelijen mereka untuk mencegah terjadinya unjuk rasa yang berpotensi anarkis.

"Kita akan bergerak duluan. Kita lihat ini akan potensinya akan tidak aman, tidak akan kita terbitkan (STTP), kita akan bubarkan dulu, sebelum berubah jadi crowd," jelas mantan Kepala BNPT itu.

Untuk diketahui, Presiden Joko Widodo (Jokowi) memperbolehkan masyarakat untuk menggelar aksi demonstrasi menjelang pelantikan Presiden dan Wapres. Ia menegaskan, tak ada perintah kepada Kapolri untuk melarang aksi unjuk rasa masyarakat. "Ndak ada (perintah)," ujar Jokowi di Istana Merdeka, Jakarta, Rabu (16/10).

Presiden menegaskan, aksi demonstrasi pun dijamin oleh konstitusi. Kendati demikian, terkait adanya larangan aksi demonstrasi menjelang pelantikan Presiden, Jokowi meminta agar ditanyakan lebih lanjut ke Kapolri.

Sebelumnya, Kepolisian Daerah (Polda) Metro Jaya memutuskan tidak akan menerbitkan perizinan penyampaian aspirasi (unjuk rasa) mulai Selasa (15/10) sampai Ahad (20/10). Keputusan itu diambil untuk pengamanan menjelang pelantikan presiden dan wakil presiden terpilih Joko Widodo dan Ma'ruf Amin.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement