Jumat 18 Oct 2019 06:07 WIB

Jangan Menyerah pada Gawai

Ada 209 anak masuk RS Jiwa karena kecanduan gawai

Red: Joko Sadewo
Gita Amanda, Jurnalis Republika
Foto: gita
Gita Amanda, Jurnalis Republika

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Gita Amanda*

Siapa tak bermain dengan gawai? Atau lebih spesifik lagi anak kecil mana yang saat ini tak mengenal gawai? Mau itu telepon pintar, tablet atau sekadar tontonan kartun di televisi.

Gawai dan sambungan internet sekarang ini seakan menjadi ''dewa penyelamat'' bagi banyak orang tua di era milenial ini. Anak rewel diam saat diberi gawai. Anak susah makan jadi mau makan ketika diselingi main gawai. Anak tak bisa diam lebih anteng dengan gawai.

Gawai, gawai, gawai seakan menjadi ''obat penenang'' andalan jika orang tua kehabisan akal menghadapi anak mereka. Tak semua orang tua. Tapi coba tanyakan diri sendiri masing-masing, hai kalian para orang tua. Apa sudah pas menggunakan fungsi gawai untuk anak?

Tapi berita beberapa hari lalu, sungguh membuat tercekat. "Rumah Sakit Jiwa di Jawa Barat 'Kebanjiran' Pasien Anak". Angkanya pun tak sedikit, ada 209 anak tercatat menjadi penghuni RS Jiwa dengan penyebabnya kecanduan gawai.

Kok bisa? Masa iya gawai bisa bikin gangguan jiwa? Pasti itu yang muncul saat pertama baca berita-berita tersebut. Tapi nyatanya bisa. Meski disebutkan umumnya anak-anak yang harus menjalani rawat inap, memiliki faktor lain di balik kecanduan gawainya. Misalnya ada yang memang mengidap depresi.

Namun kecanduan gawai itu nyata adanya. Salah seorang teman pernah bercerita. Keponakannya akan ngamuk luar biasa saat ia tak bisa mengakses gawainya. Ini tentu mengingatkan berita seorang anak yang marah hingga merusak pintu, saat insiden blackout PLN beberapa waktu lalu.

Di era serba digital macam ini, memang akan sangat sulit mencegah anak mengenal gawai. Bagaimana tidak, kanak kiri atas bawah mereka akan bertemu dengan gawai. Gawai semestinya tercipta untuk membantu manusia. Tapi seringkali fungsi gawai melampaui kodrat awalnya. Gawai malah membuat manusia ketergantungan akan segala kemudahan yang mereka berikan.

Begitu juga dalam pengasuhan anak. Orang tua dengan beragam alasan menyerahkan pengasuhan anak mereka pada gawai. Gawailah yang berfungsi sebagai penenang, teman main, hingga guru anak-anak.

Sebenarnya sah-sah saja bermain gawai. Para ahli mengatakan, setiap anak boleh bermain gawai dengan tetap berpegang pada aturan-aturan (tak tertulis) yang ada.

Pertama, tentu soal waktu. Anak usia dua tahun ke bawah dilarang mengakses gawai lebih dari satu jam sehari. Anak dua hingga enam tahun boleh mengakses gawai lebih dari satu jam tapi kurang dari dua jam per hari. Usia di atas enam bisa membuat kesepakatan tersendiri dengan orang tua.

Kedua, orang tua tak boleh lepas tangan membiarkan anak mengakses sendiri gawai mereka. Apalagi membelikannya khusus untuk mereka miliki. Dampingi anak bermain gawai, itu penting dilakukan.

Ketiga, tetap ajak anak berinteraksi saat bermain gawai. Ajak anak bermain, kasih jeda mengakses gawai dan ajak mereka berbincang. Pilih kegiatan seru bersama anak yang tak perlu melibatkan gawai.

Ingat pada masa kanak-kanak perkembangan otak anak sedang mengalami fase penting. Jika saat perkembangan otak anak tersebut didominasi dengan paparan gawai, tentu ada yang salah nanti ke depannya pada si anak.

Jadi, ayolah kalian para ibu dan bapak, kakek dan nenek, om dan tante, kakak, abang, dan mbak di luar sana. Lekas sadar! Jangan menyerah pada gawai!

*) Penulis adalah redaktur republika.co.id

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement