Jumat 01 Nov 2019 08:10 WIB

Ombang-ambing Nasib Perajin Perahu Jatiluhur

Beberapa tahun ke belakang memang bisnis tradisional ini tak lagi menjanjikan.

Rep: Zuli Istiqomah/ Red: Esthi Maharani
Musim kemarau, tinggi muka air (TMA) Waduk Jatiluhur terus mengalami penyusutan. Saat ini, status waduk terbesar di Jabar ini dalam kondisi kering.
Foto: Republika/Ita Nina Winarsih
Musim kemarau, tinggi muka air (TMA) Waduk Jatiluhur terus mengalami penyusutan. Saat ini, status waduk terbesar di Jabar ini dalam kondisi kering.

REPUBLIKA.CO.ID, PURWAKARTA — Musim kemarau panjang mengakibatkan surutnya air di sejumlah sumber air baku, salah satunya Waduk Jatiluhur. Objek wisata air ini pun terlihat sepi. Perahu-perahu kayu tradisional yang biasa digunakan wisatawan berkeliling berjejer parkir di tepi waduk. Bahkan ada perahu yang berada di daratan karena surutnya air yang terlihat hampir 100 meter dari titik daratan yang biasanya dipenuhi air.

Tak hanya surut air, musim kemarau yang belum usai juga menyurutkan pendapatan warga yang menggantungkan penghasilannya dari waduk yang terletak di Kabupaten Purwakarta ini. Pak Haji Idin (56), warga Desa Cikaobandung, Kecamatan Jatiluhur sudah tiga bulan tidak mendapat pesanan perahu kayu sama sekali.

Perajin perahu kayu dari tahun 1990an ini biasanya bisa mendapat Rp 25 juta dari satu  pesanan perahu. Beberapa tahun ke belakang memang bisnis tradisional ini tak lagi menjanjikan. Tahun ini dengan adanya kemarau panjang membuat Haji Idin harus gigit jari. Peralatan ‘tempur’ yang biasa digunakannya harus teronggok di pojokan rumah tak tersentuh dan penuh debu. Beberapa sisa potongan kayu dan papan juga masih belum terpakai lagi.

“Tiga bulan ini enggak ada orderan sama sekali. Biasanya paling enggak satu bulan bisa kerjain satu. Walaupun memang ke sini-ke sini makin sepi yang pesan,” kata Idin ditemui Republika di kediamannya belum lama ini.

Idin mengaku musim kemarau memang berpengaruh pada mata pencahariannya. Apalagi wisatawan di Waduk Jatiluhur juga sepi karena debit air yang terus menurun. Sehingga perahu pemandu wisata juga lebih banyak kosong. Begitupun dengan Waduk Jatigede yang juga biasa ia mendapatkan pesanan.

Dulu desa ini, kata Idin, dikenal dengan sebutan Kampung Perahu. Bahkan sampai ada gapura penanda Desa Cikapbandung adalah tempat para perajin perahu. Ada lebih dari 15 tempat yang memproduksi perahu dan melibatkan banyak pekerja yang juga warga sekitar.

Saat ini, jumlah perajin perahu yang tersisa di desa yang terkenal perajin perahu ini diperkirakan hanya tiga orang termasuk Idin. Namun melihat perkembangannya yang suram, ia memperkirakan perajin ini pun tidak bisa bertahan lama. Karena itu, para perajin perahu di sana mengharapkan bantuan pemerintah daerah untuk mempromosikan produk mereka. Selama ini, pemerintah dinilai kurang memperhatikan para perajin perahu di Kecamatan Jatiluhur.

Pasang surutnya bisnis perahu diakui salah seorang penyedia sewa perahu untuk wisatawan di Waduk Jatiluhur. Kahari (42) mengakui semenjak debit air turun drastis, pengunjung pun enggan menaiki perahu wisata berkeliling waduk yang menjadi pasokan utama irigasi petani di sejumlah daerah tersebut.

Kahari menuturkan biasanya dalam satu hari saat akhir pekan bisa ada 500 penumpang yang berkeliling memggunakan perahu miliknya dan rekan-rekannya yang lain. Namun saat ini jumlah tersebut sudah berkurang drastis bahkan di akhir pekan yang biasa dipadati wisatawan.

“Sekarang mah paling cuma 100 penumpang itu juga gabungan sama perahu yang lain. Paling saya cuma dapat sekali muter bawa penumpang,” tuturnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement