Senin 04 Nov 2019 09:03 WIB

Pemekaran Papua Bagai Kotak Pandora

Universitas Cendrawasih menyiapkan tim kaji pemekaran tujuh provinsi.

Red: Budi Raharjo
Presiden Joko Widodo (kedua kanan) didampingi Pangdam XVII/Cendrawasih Mayjen TNI Herman Asaribab (kiri) mengamati bangunan yang terbakar saat kerusuhan lalu di Pasar Wouma, Kota Wamena, Kabupaten Jayawijaya, Papua, Senin (28/10/2019).
Foto: Antara/Anyong
Presiden Joko Widodo (kedua kanan) didampingi Pangdam XVII/Cendrawasih Mayjen TNI Herman Asaribab (kiri) mengamati bangunan yang terbakar saat kerusuhan lalu di Pasar Wouma, Kota Wamena, Kabupaten Jayawijaya, Papua, Senin (28/10/2019).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA--Rencana pemekaran Papua disebut bakal berdampak pada munculnya permasalahan baru. Direktur Eksekutif Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) Robert Endi Jaweng menyebut, pemekaran di Papua bagai kotak pandora karena dilakukan di tengah kebijakan moratorium pembentukan daerah otonomi baru.

"Daftar tunggunya sudah banyak itu untuk juga menuntut keadilan, akses kesempatan. Mereka membuka keran satu daerah tapi membendung yang lain, itu enggak boleh. Kemudian, pemerintah bisa, enggak, menghadapi itu," ujar Robert saat dihubungi Republika, Ahad (3/11).

Baca Juga

Ia mengamini pernyataan anggota Komisi II DPR yang menyarankan pemerintah mencabut moratorium DOB jika akan memekarkan Papua. Pemerintah seharusnya memberikan keadilan dan kesempatan yang sama bagi 314 usulan pemekaran yang diterima Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri).

Jika bersikukuh memekarkan Papua, pemerinta harus siap dengan gelombang besar dari sejumlah daerah yang juga menginginkan pemekaran. Pemerintah pun harus siap menggelontorkan anggaran besar untuk daerah persiapan selama bertahun-bertahun sampai dinyatakan layak untuk menjadi daerah otonomi baru.

Robert menyarankan pemerintah tak boleh melupakan dinamika lokal di Papua. Terlebih, Majelis Rakyat Papua (MRP) sebagai representasi kultural orang asli Papua tak dilibatkan dalam pengusulan pemekaran Papua.

Ia menambahkan, seharusnya Presiden Joko Widodo tak memberikan janji manis terhadap usulan pe mekaran Papua. Pemerintah semestinya memegang hasil kajian dan evaluasi terlebih dahulu atas kebijakan otonomi daerah sejak 1999 dan Undang-Undang (UU) tentang Otonomi Khusus Papua sejak diberlakukan 2001.

Menurut dia, saat ini kebijakan pemekaran mengacu pada UU 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah yang menjabarkan pembentukan daerah berupa pemekaran dan penggabungan daerah. UU itu dalam pasal 56 mengamanatkan pemerintah pusat menyusun strategi penataan daerah untuk melaksanakan pena taan daerah. Strategi tersebut di tuangkan dalam desain besar penataan daerah yang memuat perkiraan jumlah pemekaran daerah pada periode tertentu.

Desain besar penataan daerah dijadikan acuan dalam pemekaran daerah baru yang ditetapkan dengan peraturan pemerintah. Dengan demikian, menurut Robert, peme rintah seharusnya menyusun dua peraturan pemerintah (PP) mengenai desain besar penataan daerah dan pembentukan daerah sesuai amanat UU sebelum melakukan pemekaran. "Selagi dua PP itu belum dibuat, belum disahkan, belum boleh pemekaran dibuka. Itu perintah Undang-Undang 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah," tutur Robert.

Wakil Ketua Komisi II Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Yaqut Cholil Qoumas mendukung adanya pemekaran di wilayah Papua. Pasalnya, Yaqut menilai wilayah tersebut sudah masuk ke dalam kriteria yang tepat untuk melakukan hal tersebut.

"Ada yang memang daerah urgent yang memang perlu dilakukan pemekaran, seperti apa yang disampaikan mendagri terakhir itu, Papua Selatan itu, misalnya," ujar Yaqut.

Anggota Komisi II Fraksi Partai Gerindra, Sodik Mudjahid, juga menilai bahwa pemekaran merupakan salah satu kebutuhan bagi daerah potensial seperti Papua.

Untuk itu, Komisi II juga akan mengakomodasi aspirasi daerah. "Kita paham kebu tuhan pemekaran suatu daerah atau pulau, apalagi daerah potensial seperti Papua. Kita akan akomodasi suara dan aspirasi dari daerah," ujar Sodik.

photo
Prajurit TNI dan Polri mengikuti upacara apel gabungan di Kota Wamena, Kabupaten Jayawijaya, Papua, Senin (14/10/2019).

Kajian

Pemerintah Provinsi (Pemprov) Papua sebetulnya menghendaki pembagian pemerintahan di daerah tersebut terbagi ke dalam tujuh daerah tingkat satu. Rektor Universitas Cenderawasih (Uncen) Apolo Safonpo mengatakan, Gubernur Lukas Enembe sudah meminta perguruan tinggi negeri di Jayapura itu untuk melakukan kajian pemekaran Bumi Cenderawasih menjadi lima provinsi di Papua dan dua provinsi di Papua Barat.

Pemekaran menjadi tujuh provinsi tersebut sesuai dengan wilayah suku adat masyarakat asli yang ada di seluruh tanah Papua. Apolo mengatakan, Uncen sudah menyiapkan tim dalam kajian tersebut sebelum rencana pemerintah pusat membentuk dua provinsi baru di Papua.

Jadi, kajian ini memang penting dilakukan untuk dijadikan alasan akademis dalam pemerintah mengambil keputusan nantinya. "Kami di Uncen sudah menyusun tim untuk mengkaji pemekaran ini," ujar dia saat dihubungi Republikadari Jakarta, Ahad (3/11). Apolo mengatakan, sementara ini Uncen memang melihat rencana pemekaran Papua dan Papua Barat diperlukan untuk mengejar ketertinggalan pembangunan dan ekonomi bagi masyarakat setempat.

Menurut Apolo, rencana pemerintah pusat memekarkan Papua menjadi dua provinsi tambahan memang mempunyai beragam pertimbangan. Namun, menurut dia sebagai akademisi, pembentukan dua provinsi baru di Papua dikhawatirkan akan menimbulkan kecemburuan sosial.

Hal itu, menurut hemat dia, akan menjadi persoalan baru bagi masyarakat di Papua. "Kalau (hanya) satu atau dua (yang dimekarkan), kita takut kan nanti ada kecemburuan sosial," kata Apolo menegaskan. (mimi kartika/nawir arsyad akbar ed: agus raharjo)

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement