Kamis 21 Nov 2019 00:24 WIB

Membongkar Makna Kebenaran dari Bungkus Tusuk Gigi

Seno Gumira membongkar makna 'kebenaran' di balik benda yang digunakan sehari-hari.

Rep: Prasetyo Agung (cek n ricek)/ Red: Prasetyo Agung (cek n ricek)
Foto: Eva Tobing/DKJ
Foto: Eva Tobing/DKJ

CEKNRICEK.COM -- Bagaimana kebudayaan dimaknai lewat benda-benda sepele di kehidupan sehari-hari dan menjadikannya sebagai proses dialektika wacana pertarungan budaya? Pertanyaan itu mungkin dapat menjadi 'pintu masuk' untuk memahami 'Pidato Kebudayaan Suara Jernih dari Cikini' yang diselenggarakan Dewan Kesenian Jakarta pada beberapa waktu lalu.

Dalam program acara yang diselenggarakan DKJ itu, mereka mengundang Seno Gumira Ajidarma, sastrawan sekaligus akademisi untuk memaparkan pidato kebudayaannya yang mengusung tema: Kebudayaan dalam Bungkus Tusuk Gigi.

“Kata kebenaran lebih baik tidak digunakan, dihindari, atau digunakan dengan hati-hati sekali. Karena kebenaran, meskipun ada, tidak bisa diketahui,” ungkap Rektor Institut Kesenian Jakarta itu, di Teater Besar Taman Ismail Marzuki, Jakarta.

Dalam Pidato Kebudayaan kali ini, Seno Gumira memang membongkar makna-makna 'kebenaran' di balik benda yang digunakan masyarakat setiap harinya lewat sudut pandang bahasa. Ia membahasnya dengan cara yang khas yang kemudian dipakai untuk membedah konstruksi kebudayaan.

Lewat penanda/simbol dan pemaknaan ulang atas hal-hal yang dianggap remeh temeh oleh masyarakat, Seno menguliti kebudayaan dari sudut pandang bahasa sebagai produk awal kebudayaan dan unsur kebudayaan terpenting manusia.

Penanda ini diambil oleh SGA dari bungkus Tusuk Gigi, bungkus Wingko Babat (kue khas Semarang), serta ilustrasi dalam kehidupan masyarakat sehari-hari di jalanan untuk menggambarkan bagaimana proses hegemoni dan kebudayaan berlangsung.

Baca Juga: Mendengar Musik Imajinatif di Pekan Komponis Indonesia

Dengan meminjam mitologi dunia dan cerita anak-anak (fabel), Seno Gumira pun menyentil dengan tangkas bagaimana kebudayaan lahir dari rahim bahasa dan situs pertarungan ideologi-pergulatan antarwacana sekaligus pertumpahan darah dalam proses berkebudayaan.

Pelaksana Tugas (Plt.) Sekretaris Jenderal Dewan Kesenian Jakarta, Hikmat Darmawan, mengatakan pidato kebudayaan tahun 2019 ini merupakan akumulasi pergumulan gagasan di DKJ mengenai ekosistem kesenian kota di Jakarta.

“Membangun sebuah ekosistem seni di sebuah dunia urban yang kompleks selalu membutuhkan pembacaan-pembacaan baru relasi-relasi itu, agar upaya pembangunan itu tidak terjebak jadi sederet proyek untung rugi atau ucapan manis di bibir belaka,” ujar Hikmat.

Untuk diketahui, Pidato Kebudayaan Suara Jernih dari Cikini merupakan acara tahunan memperingati pendirian Taman Ismail Marzuki (10 November 1968) sebagai pusat kebudayaan di Jakarta. Pidato ini telah dimulai sejak tahun 1989 dengan mengundang tokoh dan cendekiawan nasional untuk memaparkan pemikiran-pemikiran jernih mereka dalam perspektif kebudayaan.

BACA JUGA: Cek SEJARAH, Persepektif Ceknricek.com, Klik di Sini.

Editor: Farid R Iskandar

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement