Ahad 17 Nov 2019 14:31 WIB

Ironi Limbah Nuklir dalam Pembangkit Listrik

Negara-negara di Afrika berencana melakukan investasi energi nuklir sebagai sumber listrik yang bersih. Rencana tersebut tampaknya harus mempertimbangkan usaha Eropa dalam mengolah pembuangan limbah radioaktifnya.

Rep: deutsche welle/ Red: deutsche welle
Thomas Bethge/Fotolia.com
Thomas Bethge/Fotolia.com

Tujuh puluh tahun setelah era nuklir dimulai, tidak ada satu pun negara yang membangun tempat untuk membuang limbah nuklirnya secara aman. Hal ini diungkapkan oleh sebuah laporan yang terbit pekan ini, sehingga meningkatkan kekhawatiran bagi pemerintah atau negara-negara yang tengah mempertimbangkan memakai tenaga nuklir sebagai alternatif dari bahan bakar fosil.

Menurut laporan World Nuclear Waste, lebih dari 60.000 ton limbah radioaktif dalam bentuk bahan nuklir batangan bekas disimpan di lokasi sementara di seluruh Eropa. Beberapa disimpan di fasilitas-fasilitas lama yang sudah kehabisan kapasitas dan diperkirakan masih akan digunakan selama beberapa dekade, lebih lama dari yang direncanakan.

Menurut laporan dari Heinrich Böll Foundation yang berafiliasi dengan Partai Hijau Jerman, Finlandia menjadi satu-satunya negara yang membangun repositori permanen bawah tanah untuk limbah nuklir yang memancarkan radiasi dalam jumlah besar selama puluhan ribu tahun.

"Kita berbicara tentang kerangka waktu yang melampaui skala manusia, yang dapat kita pikirkan," kata Arne Jungjohann, ilmuwan politik dan pemimpin redaksi dari laporan tersebut.

"Kita masih tidak tahu dimana harus menaruh limbah itu dengan aman supaya tidak akan ada yang terluka, tidak rentan terhadap serangan teroris dan tidak dicuri untuk membuat bom nuklir", tambahnya.

Di awal era nuklir, bahan-bahan radioaktif diencerkan dan dibuang begitu saja ke lingkungan, hal itu dilakukan sebelum pemerintah pada akhirnya memutuskan menyimpan limbah nuklir dengan aman di bawah tanah. Tetapi, proyek-proyek dari tahun 1960 dan seterusnya harus memenuhi standar keselamatan yang tinggi, "sampai pada batas maksimum jika memungkinkan", jelas laporan tersebut.

Hal ini meningkatkan kekhawatiran bagi negara-negara berkembang yang berencana menggunakan tenaga nuklir.

Tenaga Nuklir di Afrika

Populasi perkotaan di Afrika akan meningkat dua kali lipat dalam tiga dekade mendatang, membuat permintaan akan infrastruktur dan energi semakin masif. Pada 2017, hanya setengah dari warga Afrika yang memiliki akses listrik, padahal rata-rata global sebesar 88 persen, seperti ditunjukkan data Bank Dunia.

Karena berkeinginan untuk menghubungkan warga dengan jaringan listrik dengan menghindari emisi tinggi dari negara-negara Barat, beberapa negara akhirnya mengeksplorasi nuklir sebagai cara memasok energi yang murah dan stabil.

Menurut Asosiasi Nuklir Dunia, Afrika Selatan menjadi satu-satunya negara dari benua Afrika yang saat ini tengah mengoperasikan pembangkit nuklir, sementara belasan negara lain tengah mempertimbangkan akan membangun pembangkit nuklir atau tidak.

Sebuah makalah yang diterbitkan dalam jurnal sains dan teknologi, menemukan bahwa di awal tahun ini beberapa negara seperti Aljazair, Mesir, Ghana, Kenya, Namibia, Nigeria, Tanzania, Uganda dan Zambia, telah menandatangani perjanjian kerja sama dengan perusahaan energi nuklir dari Rusia bernama Rosatom. Sementara, negara-negara lainnya memiliki kontrak dengan Cina.

Selain meningkatkan volume listrik yang mereka hasilkan, negara-negara Afrika juga ingin membuat pasokan listrik mereka terjaga. Negara- negara seperti Nigeria dan Ghana selama ini berjuang dengan masalah pemadaman listrik yang kerap membuat warganya menggunakan generator diesel sebagai tenaga cadangan yang juga mencemari udara.

Precious Akanonu, seorang peneliti dari Pusat Studi Ekonomi Afrika mengatakan bahwa energi nuklir dapat memainkan peran tambahan di Afrika. "Sampai kita mampu secara bertahap menghilangkan ketergantungan terhadap bahan bakar fosil, energi nuklir akan berguna untuk menghindari ketergantungan berlebihan pada suatu sumber energi yang rapuh terhadap guncangan", ujarnya.

Isu tenaga nuklir menuai pro kontra di kalangan aktivis lingkungan. Beberapa melihatnya sebagai bagian penting dalam hal transisi dari bahan bakar fosil, sebagai alat yang diperlukan untuk mengurangi emisi CO2 dan menghindari bencana pemanasan global.

Di negara-negara seperti Jerman, dimana pemerintahnya berjanji menghapus energi nuklir setelah bencana Fukushima pada tahun 2011, para kritikus berpendapat bahwa negara itu menjadi terpaku pada batu bara sehingga melanggar janji terakit emisi CO2 berdasarkan Perjanjian Paris 2015 tentang perubahan iklim.

Namun upaya untuk menangani limbah nuklir sejauh ini goyah. Tanpa Rusia dan Slovakia karena data yang kurang lengkap, laporan World Nuclear Waste menemukan, bahwa hanya empat negara - Prancis, Inggris, Ukraina dan Jerman - yang bertanggung jawab atas lebih dari setengah limbah nuklir Eropa, dan belum ada yang menemukan tempat bawah tanah yang dalam untuk menampung limbah nuklir selama berabad-abad.

Laporan Heinrich Böll Foundation menyebut banyak pemerintahan menganggap enteng pembiayaan tempat pembuangan limbah nuklir dan pelucutan reaktornya, dengan menerapkan aturan-aturan tidak konsisten dengan mengalihkan beban keuangan dari operator pabrik ke dalam pungutan pajak masyarakat.

"Masalah limbah nuklir yang belum terselesaikan menjadi argumen pembantah melawan masuk ke era nuklir,“ ujar Rebecca Harms, mantan anggota parlemen Eropa yang turut serta dalam pembuatan laopran tersebut. “Negara-negara Afrika harus mempertimbangkan warisan nuklir yang telah ada selama 50, 60 tahun terakhir ini, dan menurut kami tidak ada solusi untuk itu.“

Dalam laporan yang diterbitkan Badan Energi Internasional (IEA) yang bertajuk Africa Energy Outlook 2019, kebutuhan energi di Sub-Sahara Afrika diprediksi meningkat 60 persen pada dua puluh tahun mendatang, sementara energi nuklir hanya akan memasok sebagian kecil dari jumlah kebutuhan tersebut.

“Apa yang kita lihat dalam perkembangan ekonomi di Sub-Sahara Afrika di masa depan akan didukung oleh energi terbarukan dan gas alam,“ ujar Kieren McNamara, analis senior IEA. “Nuklir tidak termasuk,“ tambahnya. (gtp/rap/ag)

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement