Kamis 19 Dec 2019 02:03 WIB

Guru Besar UI: Stunting Bisa Ancam Ketahanan Bangsa

Bayi yang mengalami gizi kurang akan mempunyai IQ di bawah 90

Red: Bilal Ramadhan
Prof Dr. dr. Damayanti R. Sjarif, Sp.A(K) pada pidato pengukuhannya sebagai Guru Besar Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI) Departemen Ilmu Kesehatan Anak di Aula Imeri Kampus Salemba, Jakarta Pusat, Rabu (18/12).
Foto: Istimewa
Prof Dr. dr. Damayanti R. Sjarif, Sp.A(K) pada pidato pengukuhannya sebagai Guru Besar Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI) Departemen Ilmu Kesehatan Anak di Aula Imeri Kampus Salemba, Jakarta Pusat, Rabu (18/12).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Stunting adalah istilah yang digunakan untuk menyatakan perawakan pendek yaitu panjang atau tinggi badan menurut umur di bawah –2 simpang baku grafik pertumbuhan linear, yang disebabkan oleh malnutrisi kronis. Malnutrisi kronis dapat disebabkan oleh asupan nutrisi yang tidak adekuat dan atau kebutuhan nutrisi yang meningkat.

"Asupan nutrisi yang tidak adekuat dapat disebabkan oleh ketidak-tahuan orangtua tentang pola makan bayi dan batita yang benar, ketidak tersediaan pangan karena kemiskinan atau penelantaran anak," ujar Prof Dr. dr. Damayanti R. Sjarif, Sp.A(K) pada pidato pengukuhannya sebagai Guru Besar Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI) Departemen Ilmu Kesehatan Anak di Aula Imeri Kampus Salemba, Jakarta Pusat, Rabu (18/12).  

Damayanti menyatakan kebutuhan nutrisi yang meningkat dapat disebabkan oleh penyakit dan dapat dicegah dengan imunisasi, ketersediaan fasilitas air bersih, MCK serta kebiasaan mencuci tangan dengan benar, serta pemberian Pangan untuk Keperluan Medis Khusus (PKMK).

 

Masalah stunting menurutnya adalah permasalahan yang sangat penting dalam konteks ketahanan bangsa. Asupan nutrisi yang tidak adekuat yang terjadi pada masa kritis perkembangan otak yaitu di 1000 Hari Pertama Kehidupan akan menurunkan kemampuan kognitif seorang anak dan meningkatkan risiko penyakit tidak menular misalnya obesitas, diabetes, penyakit jantung koroner, hipertensi dan lainnya dikemudian hari.

Kemudian untuk jangka panjang bayi, yang mengalami gizi kurang atau gizi buruk memperlihatkan bahwa 65 persen mempunyai IQ di bawah 90 yang berdampak penurunan kemampuan bersekolah menjadi hanya sekitar 7 tahun.

Dalam penelitiannya di Pandeglang, Banten beberapa waktu lalu Prof Damayanti dan timnya melakukan pemeriksaan fungsi kognitif pada 53 batita stunting yang menunjukkan bahwa 71 persen berada di bawah rata-rata untuk usianya. Data statistik memperlihatkan bahwa lama sekolah kurang dari delapan tahun berkorelasi dengan lebih dari 40 persen kemiskinan yang ekstrim (extreme poverty).

"Prevalensi stunting pada balita di Indonesia yang berkisar pada 37-38% berdasarkan hasil Riskesdas 2007-2013 menyiratkan kemungkinan besar terjadinya tragedi demografi generasi Z, di saat negara lain mendulang bonus demografi di usia produktif," ujarnya.

Windows of opportunity perbaikan kognitif akibat malnutrisi pada seorang anak adalah pada 2 tahun pertama kehidupan dengan kombinasi perbaikan asupan nutrisi dan stimulasi, itupun hanya dapat mengoreksi kognitif maksimal 90 persen. Oleh karena sulitnya menatalaksana stunting maka pencegahan lebih diutamakan.

 

Analisis nutrigenomik yang mempelajari bagaimana komponen bioaktif makanan mengubah profil ekspresi gen memperlihatkan bahwa konsumsi protein berperan dalam mencegah hambatan pertumbuhan panjang/tinggi badan melalui pelbagai mekanisme regulasi di tingkat epigenetik dan transkripsi. Bukan hanya sekedar protein, tetapi harus memenuhi persyaratan  mengandung asam amino esensial yang lengkap dan cukup, serta mudah dicerna dan diabsorbsi di usus halus (DIAAS > 100), kesemua persyaratan tersebut terpenuhi oleh protein hewani yaitu susu (termasuk ASI), telur, ikan, dan unggas.

Protein nabati tidak memenuhi persyaratan karena mengandung asam amino yang tidak lengkap (limiting amino acids), jumlahnya sedikit sehingga untuk memenuhi kecukupan kuantitas diperlukan dalam jumlah banyak, selain itu lebih sulit dicerna dan diabsorbsi (DIAAS < 100) karena mengandung antinutrien misalnya fitat, tannin, dll. Penelitian menunjukkan bahwa perbandingan protein hewani terhadap total energi yang dikonsumsi yang bermakna dalam meningkatkan panjang /tinggi badan adalah 10-15 persen.  

 

Analisis nutrigenetik yang mempelajari bagaimana variasi genetik seseorang mempengaruhi respons tubuh terhadap komponen bioaktif makanan tertentu pada kasus kelainan metabolisme bawaan, menunjukkan bahwa varian gen patogenik mengubah kemampuan untuk memetabolisme zat gizi tertentu yang jika tidak ditata laksana dengan nutrisi yang sesuai (Pangan untuk Keperluan Medis Khusus) misalnya pada Kelainan Metabolisme Bawaan, alergi makanan, prenturitas, weight faltering/gizi kurang/buruk dengan penyulit, akan berakhir dengan stunting juga.

 

"Setelah ditelaah melalui pendekatan nutrisional genomik ternyata penanggulangan stunting cukup sederhana, yaitu setelah bayi lahir dapat dicegah dengan penerapan pola ASI dan MPASI yang bergizi lengkap, cukup dan seimbang khususnya perbandingan protein hewani terhadap total energi (protein energy ratio, PER) 10-15 persen dengan memanfaatkan sumber pangan hewani lokal," ujar Prof Damayanti.

Memantau tumbuh-kembang dengan menerapkan cara menimbang berat badan yang benar yaitu tanpa baju atau dengan baju dalam tipis, mengukur panjang badan dengan alat pengukur baku yang berbeda untuk anak di bawah dan di atas 2 tahun, menganalisis hasil timbang-ukur untuk deteksi dini weight faltering (kenaikan berat badan yang tidak adekuat) dan masalah gizi lain diikuti dengan rujukan kepada dokter puskesmas dan dokter spesialis anak untuk diagnosis dan tata laksana segera secara komprehensif.

Pada uji coba Aksi Cegah Stunting dengan mengaktifkan poros Posyandu-Puskesmas-RSUD di desa Bayumundu, Pandeglang yang melibatkan kader posyandu, Tim PKK desa, Petugas Gizi Lapangan, Bidan Desa, Dokter Puskesmas, dan Dokter Spesialis Anak RSUD berhasil menurunkan stunting pada balita 8,4 persen dalam 6 bulan pengamatan, hanya dengan menerapkan konseling MPASI yang mengandung protein hewani setiap hari.

"Angka ini lebih kecil daripada yang diperkirakan oleh Onyango dan kawan-kawan yaitu 17 persen dalam 6 bulan pertama karena adanya faktor sensitif yang perlu bantuan sektor non-kesehatan, yaitu tidak tersedianya biaya untuk merujuk balita yang berisiko malnutrisi dari posyandu ke puskesmas atau RSUD," ungkapnya.

Menurutnya masalah yang ditemukan dalam Uji Coba tersebut merupakan masukan untuk Kementerian Desa Tertinggal dan Transmigrasi RI untuk membuat petunjuk teknis yang memungkinkan pemanfaatan Dana Desa dalam mengatasi stunting.

"Jika hal ini dilakukan dengen serentak diseluruh Indonesia, dengan seizin Allah SWT, penurunan stunting 8,4 persen dalam 6 bulan sudah akan membawa prevalensi stunting di Indonesia di bawah 20 persen dalam setahun," demikian Prof Damayanti.

Sementara itu, Rektor Universitas Indonesia Prof. Ari Kuncoro, S.E., M.A., Ph.D menyatakan, “Kondisi gizi anak ternyata berhubungan dengan kemampuan kognitif dan daya saing nasional. Sehingga apabila industri bergerak ke arah yang lebih baik, ada kesulitan untuk mengikuti. Jika kita lihat survey PISA, Indonesia menempati ranking 62 dari 70 negara dan tidak bergerak. Saya awalnya berpikir ini adalah masalah pembelajaran, tetapi barangkali ini ada hubungannya dengan stunting. Jadi kita harus menyelesaikan masalah stunting demi daya saing bangsa kita.”

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement