Senin 06 Jan 2020 06:35 WIB

Perumusan Tarif Sertifikasi Halal Butuh Banyak Pertimbangan

Sampai saat ini pemerintah belum menetapkan tarif sertifikasi halal

Rep: Adinda Pryanka/ Red: Nidia Zuraya
Formulir Sertifikasi Halal ke LPPOM MUI agar suatu produk mendapatkan sertifikat halal.
Foto: Republika/Andi Nur Aminah
Formulir Sertifikasi Halal ke LPPOM MUI agar suatu produk mendapatkan sertifikat halal.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ekonom Institute for Development of Economic and Finance (Indef) Abra PG Talattov mengakui, perumusan tarif sertifikasi halal bukan pekerjaan mudah. Banyak faktor yang harus dipertimbangkan pemerintah, termasuk memastikan ketersediaan anggaran dari pos belanja pemerintah.

Abra mengatakan, pertimbangan itu dibutuhkan mengingat rencana pemerintah untuk memberikan keringanan kepada dunia usaha dalam proses sertifikasi halal, terutama Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM). Sementara usaha mikro dan kecil dibebaskan biayanya, usaha menengah akan disubsidi oleh pemerintah.

Baca Juga

"Pemerintah harus pastikan, apakah sudah ada alokasi anggarannya di tahun ini atau tidak," ujarnya kepada Republika.co.id, Ahad (5/1).

Apalagi, Abra menambahkan, sampai saat ini pemerintah belum menetapkan tarif sertifikasi halal setelah kewajiban sertifikasi halal resmi berlaku per 1 Oktober 2019. Dampaknya, prediksi kebutuhan anggaran belum didapatkan.

Penetapan tersebut seharusnya tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) sebagai regulasi bendahara negara. Tapi, Abra mengatakan, sejauh ini, Kementerian Keuangan (Kemenkeu) sepertinya masih terus menggodok peraturan dan berkoordinasi dengan kementerian/ lembaga lain.

Di sisi lain, Abra menekankan, pemerintah juga harus memastikan pemberian subsidi ataupun pembebasan biaya sertifikasi ini tepat sasaran. Jangan sampai, mereka yang sudah mapan justru mendapatkan keringanan, sedangkan UMKM ‘terlewat’ dari perhatian.

Untuk memastikan pemberian keringanan ini tepat sasaran, Abra mengatakan, pemerintah harus memiliki data UMKM secara detail. Pengumpulan data ini tengah diinisiasi oleh Kementerian Koperasi dan UKM. "Harus jelas, karena yang nanggung kan pemerintah, negara," katanya.

Selain proses sertifikasi, Abra menambahkan, pemerintah juga harus memastikan proses pengawasan berjalan sesuai aturan hukum. Tujuannya, untuk menjamin perlindungan dunia usaha sekaligus konsumen sebagai end user produk halal.

Sebelumnya, Pelaksana Teknis (Plt) Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kemenkeu Arif Baharudin mengatakan, pihaknya tengah mengkaji penerbitan PMK tarif sertifikasi halal. Oleh karena itu, ia belum dapat membicarakan regulasi detail tersebut.

Arif memastikan, pihaknya terus berkoordinasi dengan K/L terkait, termasuk melalui Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian. "Sabar ya," ucapnya kepada Republika.co.id, pertengahan Desember lalu.

Kewajiban sertifikasi halal sudah diberlakukan sejak 1 Oktober 2019, sesuai dengan amanat dalam Undang-undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal (JPH).

Sambil menunggu PMK tarif sertifikasi dirilis, proses sertifikasi halal kini masih dilayani dengan menggunakan tarif eksisting. Ketentuan ini sesuai dengan yang tertuang dalam Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 2019 tentang JPH.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement